4. Pertemuan kedua

8.8K 1.8K 322
                                    

Ada yang kangen cerita ini!?

Btw karena aku unggah saat dalam perjalanan harap maklum kalo edit gak maksimal yaaah

Jangan lupa komentarnya and vote nya yaaa. Selamat menyambut long holiday all readers.

“Aristha!?” suara Aziz membawa kembali fokus keberadaanku. Aku menoleh dari jendela ruang kerja menghadap langsung ke sepupuku itu.

“Maaf,” kataku datar. “Aku  … sedang memikirkan sesuatu.”

Aziz tersenyum tipis mendengar pengakuan itu. “Pekerjaanmu di Jakarta?”

Aku balas tersenyum tapi memilih untuk tidak menjawab. Jujur saja, masalah di sini membuatku lupa kalau aku punya pekerjaan. “Oh ya! Kamu tadi bilang apa?”

“Coba lihat ini!”Aziz menunjuk pada tumpukan berkas diatas meja kerja. “Ini semua surat-surat tanah juga sertifikat yang dimiliki keluarga Alzier.”

Nada mendesak dalam suaranya membuatku mendekat, mengambil map teratas ditumpukan yang rupanya sertifikat beberapa bangunan ruko.

“Dari mana kamu dapat ini?” tanyaku penasaran.

“Dari lemari arsip Tamong Dalommu,” saat mengatakannya Aziz terlihat seperti tengah berpikir keras. “sudah sejak empat tahun ini Tamong Anwar memberiku kuasa untuk mengurus perjanjian sewa dan mengutip uang hasil bumi dari tanah-tanah yang dimiliki keluarga Alzier. Aku sempat heran kenapa surat-suratnya tidak dibalik nama, tapi baru sekarang tahu alasannya.”   

Kuhela nafas pelan seraya mengembalikan map itu ke tumpukan. “Sepertinya mereka tidak ikut menggadaikan rumah keluarga.”
Aziz mengangguk. “Itu satu-satunya harta yang masih mereka pertahankan hingga sekarang.”

Bagiku ini terasa aneh, keluarga Alzier mempertahankan rumah keluarganya, tapi tidak ada satupun anggota keluarga mereka yang kembali lagi ke sini. 

“Tahu tidak apa yang lebih aneh?” Aziz tidak seperti sedang bertanya saat mengatakannya jadi aku memilih untuk diam menunggu penjelasan.

“Aku tidak pernah menemukan surat perjanjian piutang, apalagi surat perjanjian jual beli. Yang aku tahu, bahkan Tamong Dalom selalu memisahkan uang hasil sewa ruko dan hasil panen tanah milik keluarga mereka untuk melakukan berbagai hal yang dulu menurutku tidak masuk akal.”

“Maksudnya?”

“Sudah sejak bertahun-tahun lalu, uang yang dihasilkan dari sewa ruko dan hasil panen digunakan T untuk perawatan rumah dan perbaikan ruko-ruko mereka.”

Ini jadi semakin membingungkan, kalau memang tamong dalom sanggup melakukan banyak hal untuk mereka kenapa beliau membiarkan keluarga Alzier pergi.

Ini seperti puzzle yang tiap kepingannya butuh disusun dengan penuh kesabaran. Sayangnya aku benar-benar tidak memiliki sedikitpun hal itu sekarang.

“Kamu tahu di mana rumah keluarga mereka,” kutatap Aziz penuh harap.

“Kenapa?”

“Aku mau melihatnya.”

“Untuk apa?” Aziz menatap penuh tanya. Tapi aku tidak mampu menjelaskan karena aku sendiri juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin itu lebih didasari oleh rasa penasaran dengan laki-laki yang sampai detik ini masih jadi misteri untukku.

Mungkin juga dengan melihat bukti-bukti keberadaan keluarga Alzier bisa membuatku merasakan eksistensinya di dunia ini. Entahlah … aku tidak tahu alasan mana yang lebih tepat.

“Hanya ingin melihat.”

Kali ini sepupuku itu tidak bertanya lagi, dia hanya mengangguk setuju. “Baiklah. Sekarang bersiap-siaplah, setengah jam lagi temui aku di bawah.”  

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now