17. (1) Persuasi

8K 1.8K 129
                                    

Ada yang kangen sama Radin Rensa dan Dalom Putri Arista nggak sih?

Yang mulai ngarepin part-part manis hyuuuk pantengin, jangan luoa dikomen sama vote ya, biar yang nulis makin semangat kasih liat karyanya.

Love u gaeys, selamat menubaikan ibadah puasa untuk yang melaksanakan 😘😘😘

Meski kelihatannya santai tapi acara barbeque yang Rensa buat membuat hubungan antara aku, Rensa, Tito serta Ica semakin akrab dan lebih terbuka.

Di sela-sela obrolan santai kami aku menceritakan pada adikku tentang rencana untuk mengajaknya ke Liwa.

Tito menanggapinya dengan wajar tidak terihat gugup tapi juga tidak terlihat luar biasa antusias. Adikku mengatakan kalau dia perlu meminta izin pada kedua orang tuanya di Malaysia.

Aku tidak keberatan sama sekali dengan hal itu.

Tapi saat Rensa menanyakan pendapat Tito, apakah dia bersedia kalau aku dan dirinya menjadi walinya. Seketika aku melihat raut wajah adikku tampak berubah serius. Bergantian dia menatap aku dan pamannya.

“Maaf,” dia bersuara pelan, “soal itu aku nggak bisa mengijinkan kalian melakukannya.”

“Kenapa?” tanyaku ingin tahu alasan penolakannya.

Tito menundukkan kepalanya sesaat sebelum mengangkatnya dan menatap ke arahku lagi.

“Dua tahun lalu, aku bertemu dengan Bunda Dyah di Singapura itulah saat pertama kali aku mengetahui kebenaran tentang siapa aku sebenarnya.” Tito menunduk lagi, aku mengulurkan tanganku untuk merengkuh bahunya.

“Herannya aku nggak bisa marah pada Bunda, padahal ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi sulit sekali rasanya ….” Aku mempererat pelukanku di bahunya, dan bahkan aku menaruh daguku ke atas bahunya yang lain.

“Sulit sekali untuk bisa marah pada Bunda karena aku bisa paham alasan juga apa yang sesungguhnya beliau rasakan.”

Aku menatap Adikku dengan pandangan bertanya. Dia balas menatapku dengan senyuman.

“Bagi Bunda Dyah siapa pun yang merawatku itu tidak penting karena sampai kapan pun aku adalah miliknya, milik Ayah Ario dan milik Bunda Syarifa. Aku tetap anak laki-lakinya … dan dia nggak pernah sengaja ingin membuang atau menutupi kelahiranku walau pada akhirnya itulah yang terpaksa Bunda lakukan.

Bunda hanya ingin aku hidup normal. Dibesarkan oleh kedua orang tua yang lengkap dengan penuh kasih sayang, hal yang nggak mungkin bisa aku rasakan kalau pada akhirnya aku diserahkan dalam pengasuhan Tamong Dalom di Liwa meski aku yakin kalau Tamong Dalom pasti akan menyayangi dan menerimaku dengan tangan terbuka.”

Aku mengangguk membenarkan kalimatnya.

Sebagai calon punyimbang, Aristo akan dibesarkan dengan cara yang tidak lebih sama seperti yang dilakukan Tamong Dalom pada Ayah di masa lalu, ataupun yang dilakukan keluarga Syah Iskandar pada Aziz.

“Bunda tak ingin jalan hidupku terpengaruh oleh asal-usul kelahiran dan status ibu kandungku, beliau juga tahu kalau dirinya tak akan bisa membesarkan aku lebih lama dari yang seharusnya karena penyakit yang dia derita,
dengan segala dampak dari kemoterapi dan tubuh yang semakin rapuh, tidak banyak pilihan yang tersisa, tapi menyerahkanku pada Papa Aksa dan Mama Hera adalah bentuk kasih sayang Bunda Dyah padaku.” Tito berbicara sangat lembut saat dia membicarakan ibu kami meski tentu saja hal itu hanya membuat ekspresi wajah Rensa terlihat jijik dan tidak terima.

Aku sangat heran melihat kenyataan kalau Tito dengan terang-terangan membela Bunda dari kebencian paman kandungnya sendiri.

Hal yang tidak bisa aku lakukan karena aku sering kehilangan akal sehat setiap berdekatan dengan pria satu itu. Alih-alih membencinya aku malah sering memikirkannya dalam hal-hal berbau romantisme ala Romeo Juliet. Tak masuk akal memang.

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now