18. Kembali pulang

10.1K 1.6K 195
                                    

Ada yang nungguin Dalom Putri dan Radin Rensa kita nggak?

Sori-sori aja ya kalo kemarin emak nggak unggah-unggah ... sibuknya tetep sama walo judulnya lebaran corona 😔😔😔

Aku memandangi daratan hijau yang terlihat jauh di bawah pesawat.

Lampung terlihat didominasi warna hijau dari ketinggian, sementara ombak laut yang berlari ke arahnya memecah tepian pasir membentuk tepian berwarna keperakan.

Dalam satu perjalanan singkat aku kembali ke negeri para punyimbang, kali ini tidak sendiri, melainkan berdua dengan Adikku.

Rencana untuk kembali lebih dulu bersama Rensa gagal bukan tanpa sebab, tapi jelas aku harus memahami profesinya sebagai aparat penegak hukum yang terikat pada kewajibannya.

Sebelumnya, baik aku, Tito juga Rensa terpaksa duduk bersama membicarakan kemungkinan yang bisa terjadi dari pilihan kami untuk melakukannya.

"Kalau kamu ikut pulang ke Liwa, maka kamu harus sadar kalau ada resiko penolakan," waktu itu Rensa mengatakan dengan lugas pemikirannya pada Aristo. "Apa kamu siap?"

"Pada akhirnya ditunda pun nggak ada gunanya, Om! Lebih baik cepat hadapi setelahnya baru pikirkan lagi," diluar dugaan reaksi Tito yang menyikapi santai hal ini justu mengejutkanku.

"Kamu yakin?" tanyaku ragu.

Aristo mengangguk mantap, "kakak nggak usah terlalu cemas, perkara kedudukan adat atau apa biarkan tetua keluarga yang memutuskan ... aku ikut pulang lebih karena ingin melakukan bakti dengan berziarah ke makam kakek, nenek, ayah juga Bunda Ifa."

Rensa mengangguk setuju dengan pemikiran Aristo. Sementara aku diam-diam takjub menyadari pola pikir Aristo yang tak dapat ditebak juga tidak mudah terdistraksi apapun.

Berbeda denganku cenderung lebih suka menghindari masalah Tito leboh suka menghadapinya.

Aristo juga memiliki karakter atraktif, tapi cenderung dingin dan seperti tidak memakai perasaan saat mengambil keputusan yang justru mengingatkanku pada Bunda.

Kugelengkan kepala perlahan, untuk apa aku meragukan hal itu, tentu saja warisan genetis bunda menurun langsung ke Aristo meski dia tidak lahir dari rahim bunda.

"Jadi sudah tidak ada hambatan lagi bukan?" Rensa menatapku bertanya.

Aku mengangguk, "sekarang satu-satunya masalah hanyalah keberadaan akta kelahiran Tito yang masih belum ketemu, tanpa itu aku harus mencari pembuktian lain kalau mereka memintanya."

"Kenapa dengan aktaku," Tito menatapku bingung.

Akupun menceritakan tentang akta kelahirannya yang tidak berada dalam penyimpanan bunda, Om Aksa, atau bahkan pengacara keluarga.

"Ada padaku," jawaban Tito kembali membuatku terkejut.

"Kok bisa?"

"Bunda memberikan langsung padaku dua tahun lalu sambil berpesan agar aku bisa menjaga diri sendiri dan menghindari intervensi orang lain terkait status kelahiranku," dengan kata lain bunda menginginkan Aristo jadi individu yang kuat dan mandiri dengan atau tanpa dukungan nama keluarga Patranegara.

"Jadi secara tidak langsung kamu sudah tahu tentang kedudukanmu yang sebenarnya?"

Aristo mengangguk, membenarkan pernyataanku. "Bunda tidak pernah menyembunyikan apapun, dan meski terbatas aku tahu apa yang jadi hak juga kewajiban yang seharusnya aku miliki secara adat ... satu-satunya yang aku nggak tahu dan mungkin juga nggak pernah Bunda pikirkan adalah imbas dari ketidaktahuan mereka akan keberadaanku pada Kak Tita."

Putri Sang PunyimbangDove le storie prendono vita. Scoprilo ora