3 (2) Kesan pertama

8.2K 1.5K 76
                                    

Pendek dulu yaaa ... Pemanasan jari dulu, soalnya masih terbawa  suasana 12.12 main sale 🤣🤣🤣

Setibanya di Lamban Balak, Aziz mengajak ke ruang kerja milik tamong dalom. Ruangan yang letaknya jauh dari area rumah yang bersifat publik seperti teras atau aula.

Dahiku berkerut saat menyadari ternyata di sana sudah menunggu Tamong Anwar dan Kajong Raihani. 

“Aristha, duduklah,” senyuman kajong yang menyambut membuat kecemasan yang menggumpal dalam perutku terurai.

“Ada apa Kajong?” tanyaku seraya menghampiri keduanya.

“Ini tentang tunangan Putri Aristha,” Tamong Anwar memulai. “Kami mendapat informasi tentang keberadaannya.”

Aku tidak pernah ingin tahu apapun tentang laki-laki itu, tapi sepertinya memang harus mendengarkan apa yang dua tetua keluarga ini sampaikan.

Kuambil tempat pada salah satu sofa kosong yang tersedia. Aziz ikut duduk di sebelah.

“Kemarin malam aku mendatangi salah satu kerabat keluarga Alzier yang masih tinggal di Pekon Balak,” Tamong Anwar memulai. “Mereka mengatakan, sejak kematian Ismael Alzier ... satu persatu keluarganya meninggalkan Liwa.
Sebagian ada yang hijrah ke Malaka, Medan dan Jakarta sementara yang lain memilih menetap di Muara Dua.”

Setahuku, Muara Dua adalah ibukota kabupaten dari provinsi tetangga yang letaknya memang bersebelahan dengan kota Liwa.

Batas-batasnya terpisah secara alami oleh Danau Ranau dan Gunung Seminung, meski demikian adat istiadatnya nyaris identik dengan adat budaya suku lampung, dan itu tidak mengherankan mengingat nenek moyang mereka mereka juga masih keturunan para punyimbang yang memilih untuk membuka negeri sendiri.

“Ibu dari tunanganmu berasal dari salah satu marga di sana, jadi tidak mengherankan kalau mereka pindah ke Muara dua setelah,” Tamong Anwar tampak ragu-ragu untuk mengatakannya.

“Setelah apa Tamong?”

“Yang aku tahu, sebelum kematian Kakeknya, usaha keluarga Alzier bangkrut, dan mereka kehilangan banyak kekayaan yang sudah dikumpulkan selama beberapa generasi.”

Aku terdiam.

Dalam masyarakat yang sumber penghasilannya dari usaha perkebunan, kebangkrutan keluarga lazim terjadi saat panen buruk atau harga jual yang rendah tidak berhasil mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk biaya upah buruh dan perawatan tanaman.

Akan tetapi biasanya hal itu tidak sampai membuat keluarga yang mengalami terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman.

Dalam adat istiadat, di saat seperti itulah para kerabat, atau bahkan punyimbang yang memimpin marga akan turun tangan memberikan bantuan.

Fakta kalau setelah kebangkrutan keluarganya mereka pindah ke kota lain menunjukkan kalau sesuatu yang lain telah terjadi.

“Ismael Alzier!” Aziz mengulang nama itu dengan dahi berkerut dalam. “Aku pernah melihat beberapa surat-surat tanah dan sertifikat ruko di daerah pasar Liwa yang dimiliki oleh nama itu.”

Kajong Raihani mengangguk perlahan, “Saat kepala keluarga mereka sakit, anak tertua Radin Ismael menggadaikan aset-asetnya pada Pun Azwar untuk pengobatan. Kurasa Pun Azwar memang masih menyimpan surat-menyurat itu hanya karena berharap suatu saat keluarganya akan menebus hak milik mereka.”

Mungkin kedengarannya ironis, namun kadang penyerahan aset untuk diagunkan pada punyimbang adalah pilihan terakhir untuk mendapatkan uang dengan cara singkat, dengan harapan mereka dapat menebus kembali asetnya sesuai dengan besar uang yang dipinjam.

“Jadi apa cara kita untuk menemukannya?” aku kembali bersuara, kali ini langsung pada tujuan yang ingin kami capai.

“Mereka memberiku alamat keluarga tempat mereka menumpang tinggal di Muara Dua, tapi aku sangsi jika mereka masih menetap di sana.”

“Kenapa?” Kajong Raihani menatap sang adik penasaran.

“Kerabat keluarga Alzier mengatakan kalau baik Kemal Alzier maupun istrinya satu kalipun tidak pernah mengunjungi kerabat mereka yang masih tinggal di sini. Bagiku itu sudah merupakan petunjuk kalau mereka tidak tinggal di kota yang hanya butuh perjalanan dua jam dari Liwa.”

Aziz tampaknya setuju dengan pendapat Tamong Anwar, meski demikian aku menyimpan sendiri pendapatku di dalam hati.

Berdasarkan pengalaman pribadi, selain jarak ada hal lebih rumit yang membuat seseorang tidak ingin kembali atau terhubung dengan kampung halamannya.

Pikiran tentang itu membuatku menduga-duga, apakah laki-laki yang menjadi tunanganku itu juga memiliki ‘luka’ seperti yang aku miliki.

“Besok aku akan mencari tahu keberadaan mereka di Muara dua,” Tamong Anwar kembali bicara, kali ini tatapannya tertuju lurus kepadaku. “Bagaimanapun aku memiliki kewajiban untuk menemukan tunangan Aristha secepatnya.”

“Bagaimana kalau laki-laki itu ternyata sudah menikah, atau belum menikah tapi memilih untuk menolak perjodohan ini?” aku tidak tahan untuk tidak mengungkapkan apa yang menghantui sejak masalah ini terkuak.

Tidak ada jawaban yang kuterima, Tamong Anwar sepertinya juga tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Tapi Kajong Raihani mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tanganku yang tertumpu dipangkuan, tampaknya beliau mengerti resahku.

Klaim mengenai pertunangan yang lebih dari dua puluh tahun tidak pernah dibahas lagi bukanlah suatu hal yang mudah untuk dihadapi.

“Kita akan lihat nanti, Ristha, setelah tunanganmu ditemukan. Kalau memang dia tidak menghendaki untuk meneruskan pertunangan ini, maka kita akan kembali mencari cara untuk menunaikan wasiat Tamong Dalommu.”

Kata-kata itu membuatku sadar, kalau harapan bisa terhindar dari semua ini rasanya mustahil. Bagaimana bisa aku lupa kalau inti dari wasiat itu bukanlah mengenai pertunanganku dengan seorang lelaki asing, melainkan kewajiban untuk melanjutkan garis keturunan.

Jika laki-laki yang menjadi tunanganku itu menolak, akan ada pria lain yang disodorkan keluarga.

Memikirkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Tampaknya menemukan tunanganku jadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah.

Aku bahkan mungkin sudah gila saat berharap laki-laki itu, tidak akan dengan cepat mengabaikan pertunangan kami.

tbc

Photo location : Rest area & masjid di Puncak sumber jaya, salah satu spot fave yang setiap ke Liwa selalu aku sambangi buat mandi  kabut 😊😊😊

kredit by Ig: @norman_haddy

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now