3 (1) Kesan pertama

9.4K 1.7K 168
                                    

Jadi cuma ini deh kayaknya yang bisa kuunggah dalam Minggu ini dears.

Entah kenapa kok minggu-minggu ini rasanya mood aku swing banget, moodnya bukan ke unggah, ngedit atau ngetik lanjutan cerita kayak biasanya.

Mager banget pokoknya, pengennya makan, bobok, belanja online trus nonton korea aja bawaan 🤣🤣🤣

Tapi aku tetep bakalan usahain unggah yg lain juga, btw sebenernya properly inlove sih udh ada di draf, PTM juga tapi ya itu ... Aku mager.

Doakan dears semoga aku dapet hidayah 😉😉😉

Sudah jadi kebiasaanku selalu terbangun tepat sebelum azan subuh berkumandang. Tak peduli selarut apa aku tidur, tetap saja akan terbangun di waktu yang sama.

Kabut yang hanya menutupi sebagian Puncak Pesagi dan tidak sampai kelerengnya membuatku tertegun diambang jendela kamar yang tirainya sengaja aku buka

Hujan yang turun semalam sedikit menghapus jejak aroma manis eksotis khas bunga kopi yang sedang mekar hingga tercium tidak sepekat biasa.

Untuk ukuran Liwa, dua hal itu menjanjikan cuaca yang cerah. 

Selama ini bayangan gunung dibalik kabut yang terlihat misterius tidak pernah membuatku nyaman saat memandangi, akan tetapi Pesagi yang tidak bersembunyi hari ini memperlihatkan sisi yang lebih hangat dan anehnya mampu menenangkan pikiran, meski demikian lama tinggal di Jakarta membuatku sedikit intoleran dengan dengan hawa dingin di sini.

Aku menunggu hingga bayangan gelap Shubuh sirna untuk melangkah keluar rumah ke kebun kopi yang letaknya berseberangan dengan rumah besar keluarga Patranegara.

Pada tiap langkah di antara semak kopi yang sedang berbunga dan menguarkan keharuman, rasa rindu menuntunku melakukan hal serupa seperti yang pernah aku lakukan di masa lalu.

Berlarian di sela pepohonan, memetik biji kopi yang telah ranum di sepanjang jalan menuju aliran sungai kecil yang melintasi tempatku dulu biasa bermain.

Aku terengah di tepian sungai berbatu dan berair jernih itu, sedikit bingung menyadari sungai kini terlihat lebih kecil dan dangkal dampak dari tinggiku yang sekarang.

Gemericik air yang melewati bebatuan menarik perhatian, dengan hati-hati aku berpijak di bebatuan terdekat sebelum menapakkan kaki ke dalam air sungai yang dingin.

Sensasi air yang seakan mampu membekukan aliran darah membuatku tak tahan untuk memekik kecil sebagai reaksi atas serangan rasa dingin. Lengkingan tawa menyusul pecah begitu kaki yang telanjang menyentuh dasar sungai yang berbatu.

Aku takjub menyadari diriku masih seperti dulu. Bahkan setelah tujuh belas tahun berlalu, bermain di tempat ini masih membuatku bahagia hingga nyaris lupa waktu.

Instingku langsung bekerja saat perasaan bagai diawasi membuatku tersadar juga waspada, dan saat aku mengangkat tatapanku ke arah tebing di seberang, aku tahu diriku tidak sedang sendirian di sana.

Tersembunyi oleh fajar yang belum merekah sempurna juga bayangan pohon bungur tempatnya bersandar.

Kegelapan menyembunyikan wajahnya, tapi aku tahu dia seorang lelaki dan sedang menatapku.

Cekaman rasa takut membuatku tidak mampu bergerak, Untuk beberapa lama waktu seakan ikut terhenti oleh sikap diam kami masing-masing.

“Siapa kamu? Kenapa bisa ada di sini?” cecarku curiga.

Laki-laki itu bergerak mengubah posisi. Meski fajar dan rindangnya pepohonan membuat wajahnya tak terlihat jelas tapi aku masih bisa melihat bayangan senyum tergurat di sana.

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now