16. (1) Pendekatan

7.9K 1.7K 71
                                    

Yang nungguin Abang Cenayang rapatkan barisan dong.

Berhubung Emak lagi gak enak badan nggak pake pidato ya, cuma mau ngucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakan.

Jangan luoa komen dan votenya yaa ...

Untuk mematangkan rencana, setelah mengantar Tito dan Ica pulang aku dan Rensa sepakat mampir ke sebuah toko roti khas Vietnam untuk membahas lebih lanjut tentang rencana kami selanjutnya.

Jujur keputusan Rensa yang memilih untuk tetap menjadi 'tunanganku' membuat beban yang selama ini kutanggung sedikit berkurang. Meski aku tahu kebohongan ini suatu saat akan pasti menuntut akhir sebuah perpisahan, setidaknya aku berharap saat itu Aristo sudah berada ditahtanya.

"Jadi kapan kita akan ke Liwa?" aku menatap Rensa yang tengah menyesap kopi Vietnam ditemani bahn mi-roti isi-pesanannya.

Rensa menatapku sekilas, "aku akan hubungi Tamongmu dulu," jawabnya seraya memotong roti isinya jadi dua bagian besar.

"Lalu?"

"Kita dengarkan saja dulu tetua keluargamu maunya seperti apa."

"Kurasa kamu sudah bisa menebak mereka maunya apa, kan!?"

Sambil mengunyah dia mengangguk santai.

"Tugasmu adalah meyakinkan agar mereka mau mengulur waktu pernikahan, kamu tinggal bikin alasan apalah sama Tamong Anwar dan Kajong Raihani."

"Ngomongnya mudah banget!" dengusnya jengkel. "Lagian ya, diantara aku sama kamu yang suka bohong itu kamu ... kenapa nggak kamu aja yang bikin alasan."

"Nggak usah kamu tambahi lagi deh ya!" gerutuku kesal. "Kepala ini rasanya udah mau pecah mikirin cara untuk mengenalkan Aristo ke keluarga besar tanpa membuat kehebohan yang nggak perlu."

"Kamu khawatir ada penolakan?" tanyanya serius.

Aku mengangguk lemah, "walaupun dampaknya bakalan heboh, aku tahu kalau keluargaku nggak akan membuang darah daging mereka sendiri, tapi Tito," aku menghela nafas panjang, "aku lebih khawatir kalau dia nggak menginginkan semua ini."

"Kamu nggak akan tahu kalau nggak bicara soal ini sama orangnya langsung."

"Masalahnya aku nggak tahu cara yang tepat untuk bahas ini sama Tito."

"Mau aku bantu ngomong?" tawaran baik hati itu sungguh menggiurkan tapi aku kembali teringat kalau aku harus selalu berhati-hati dan nggak boleh 'manja' sama lelaki satu ini.

"Thanks, tapi aku pikir biar aku saja."

Rensa mengangguk setuju, "nanti aku bantu cari waktu yang tepat untuk membahas ini," lanjutnya meyakinkan.

Tanpa semangat akhirnya aku mengangguk setuju. "Oh ya, boleh aku tahu satu hal?" selagi kami bisa berbicara dengan santai seperti sekarang kurasa ada baiknya aku memanfaatkannya untuk mencari tahu apa yang membuatku sangat penasaran sejak keberadaan Aristo kuketahui.

Rensa menatapku, menunggu.

"Tentang akta nikah Ayah dan Bunda Syarifa," aku menjeda kalimat sekedar untuk melihat reaksinya. "Apa ada bersamamu?"

"Apa yang kamu harapkan dari benda itu?"

"Hanya ingin tahu."

"Kamu pikir bukti tertulis macam apa yang bisa didapat dari sebuah pernikahan siri?" suaranya saat balik bertanya terdengar dingin, cukup untuk membuatku tahu kalau ini bukan hal yang nyaman untuk dibahas.

"Jadi tidak ada surat-surat walau selembarpun?"

"Ada surat keterangan nikah dari penghulu yang menikahkan, tidak ada apapun selain itu, tidak surat, bukti dokumentasi atau bahkan cinta dalam pernikahan mendiang Kakakku dan Ayahmu."

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now