5. Rahasia

8.6K 1.8K 252
                                    

Lanjoot ya lanjoot, ditengah banjir, hujan dan ancaman longsor  yang datemg  bareng sama ancaman harimau yang sante di kebun duren Nineng (kakek) pas lagi musim panen 😣😣😣 emak tetap lanjootin ini romeo juliet from west Lampung.

Komen votenya ditunggu banget  guys, komentar terbaik kemungkinan bakal dijadiin testi kalo cerita ini terbit, dan artinya apaaaa ... Itu artinya ada buku gratisan buat kamu yang komennya mantap jiwa raga bukan Jiwasraya loh yaa😉😉😉

Sejak aku tiba di Liwa ketenangan tidak pernah lagi singgah, dan masalah justru silih berganti datang menghampiri.

Apa yang lelaki itu sampaikan adalah bencana kedua yang menimpa selama aku berada di sini.

Bahkan mungkin efeknya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan keterkejutan saat mendengar wasiat tamong dalom yang menginginkan agar aku segera menikah hanya dalam tempo satu minggu.

Tubuhku mendadak terasa dingin dan aku mulai gemetaran karena satu hal, emosi.

Tawaku mengalun sumbang, “kamu pasti salah orang,” aku berhenti berbicara karena merasakan lidahku mendadak kelu.

Aku menatapnya nanar. Bagaimana mungkin keluarga yang menghasilkan penipu seperti dia yang dipilih mendiang Tamong Dalom untuk jadi bagian masa depanku.

Mataku menatap tajam ke wajahnya dengan menahan rasa perih, dan itu bukan karena cahaya matahari yang bersinar dibalik punggungnya.

Pengakuannya lah yang terasa menyakitkan. Bagaimana bisa orang asing ini mengatakan hal yang buruk tentang ayah.

Aku tidak bisa terima ini. Bagaimana mungkin Ayah punya istri kedua sedang ayah yang kukenal adalah orang yang sangat mencintai Bunda.

Kudekati laki-laki itu dan dengan penuh amarah yang tak pernah kusadari ada pada diriku jariku terangkat menudingnya. “Aku bisa memenjarakanmu untuk pencemaran nama baik, brengsek!”

“Bagaimana jika kukatakan aku punya bukti?”

Aku tertegun, hanya bisa menatapnya, keyakinan yang terlihat di matanya membuat tenggorokanku terasa kelu dan mataku memanas.

Kugelengkan kepala perlahan. “Kau bisa katakan apa saja, tapi aku tidak akan percaya!”

Mendadak rasa lelah melanda. Hatiku. Otakku. Tubuhku. Semuanya lelah karena telah melampaui batas maksimal daya tahan menghadapi setiap tekanan menyiksa di kota ini.

Aku benar-benar membenci Liwa dan rahasia-rahasianya.

“Jauh di dalam hati kamu tahu aku tidak berbohong,” katanya dengan suara rendah yang menghipnotis, “sudah lama aku mencari dan menunggumu atau Ibumu kembali.” Laki-laki asing itu mendadak berbalik membelakangi.

“Setelah kamu muncul ternyata sangat sulit untuk menemuimu secara pribadi.” Intonasinya berubah dari lembut menjadi datar.

“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku dengan suara serak.

Dia kembali berbalik, menatapku dengan matanya yang lebar namun kelam

“Kakakku, Syarifa, punya seorang anak laki-laki dengan Ayahmu. Aku ingin bertemu dengannya,” ucapnya sangat jelas tapi cukup bagiku untuk menatapnya bagai orang sinting.

“Ayahku punya anak lain?” Aku mengulang kalimatnya. Ayah punya istri kedua juga anak selain aku. “Lelucon apa lagi ini?” dengusku nyaris serupa tawa.

Dia menatap bingung melihat reaksiku. “Kamu tidak tahu?”

“Tanyakan pada seluruh orang yang mengenal mendiang Ayah, apa menurutmu mereka akan percaya dengan yang kamu sampaikan?"

"Anak Ario Patranegara hanya aku, dan untuk itu lah aku ada di hadapanmu sekarang! Untuk menjalankan kewajibanku sebagai pewaris, aku butuh bantuan dari satu-satunya keluarga Alzier yang aku tahu,” ketusku tak lagi memperlihatkan kesopanan dihadapannya sementara dia hanya menatapku dengan dahi yang terlipat dalam.

“Apa maksudmu?”

“Akulah satu-satunya pewaris mendiang Tamong Dalomku … karenanya dalam waktu singkat aku harus menikahi seorang pendamping,”

“Lalu hubungannya denganku?” potongnya cepat.

Aku tersenyum tipis padanya yang kini terlihat semakin bingung, “bagaimana kalau kubilang calon suamiku adalah salah satu cucu laki-laki Ismael Alzier.” 

Dia tertawa sambil menggelengkan kepala seakan kata-kataku lelucon semata.

Aku masih mempertahankan senyum innocent-ku. Kalau ini sebuah permainan, jangan harap hanya dia yang bisa memberi kejutan padaku.

“Aku tidak percaya ini!”

“Lalu kamu berharap aku bisa percaya pada omong kosongmu begitu saja?” Kalimat sinisku direspon tatapan tajamnya.

“Jadi itu tujuanmu mengejarku sampai ke sini?”

Aku mengedigkan bahu tak acuh, “pikirmu apa lagi?”

Tatapan tajamnya yang disertai senyuman dingin menusuk langsung kemataku, “aku tidak tahu apa kamu sedang bersiasat atau sedang diperalat, tapi yang aku tahu apapun usahamu untuk berbohong nggam akan pernah berhasil Tuan Putri, ” kata-kata ketus itu keluar dari bibirnya seringan bulu melayang.

Napasku tertahan di dada. Emosi merambati otak secepat terpaan angin pada hari berbadai.

Putri Sang PunyimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang