17. (2) Persuasi

8.3K 1.6K 127
                                    

Buat yang udah mulai gabut buat persiapan lebaran corona 😊

Sengaja pamer pic orang pake topeng sekura, soalnya lagi kangen. Sebab kalo udah penghujung Ramadhan biasanya di Liwa udah mulai diagendakan untuk festival sekura beberapa hari/minggu setelah lebaran.

Selamat bikin takjil bagi yang udah mulai siap-siap mau masak buat bukaan.

Doakan malem nanti Emak kembali bisa unggah PB 2 yaaa.

Setelah semua pembicaraan itu kami kembali menikmati suasana sore dengan lebih tenang.

Saat yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing, aku memilih berbaring malas-malasan di atas kain piknik yang dibentangkan di atas rumput.

Dari posisi itu, aku bisa melihat Tito dan Ica yang saling dorong ke kolam renang seraya tertawa-tawa. Sementara Rensa sendiri masih disibukkan dengan panggangannya.

Tatapanku kemudian tertuju pada langit di atas sana. Warna biru cerah sepertinya sudah mulai berganti dengan cahaya keemasan matahari sore, memberi nuansa hangat dan menyenangkan yang melingkupi seluruh bagian halaman.

Saat yang bersamaan, aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat dan saat menoleh, kulihat Rensa menghampiri dengan sepiring daging panggang beserta sayur-sayuran.

“Makan lagi,” katanya sambil menghenyakkan bokongnya di sebelahku.

“Aku sudah hampir mati kekenyangan,” jawabku sembari menengadah ke langit, “ngomong-ngomong itu piring ke berapa?”

Aku mendengar dengus tawanya sekilas. “ketujuh, kurasa”

Aku ikut tersenyum dan tetap diam selama dia mengunyah makanannya. Aku jadi percaya kalau dia mampu memakan segalanya, bahkan mungkin sisa arang pemanggang.

“Apa kamu mau menjelaskan padaku alasan kamu sepertinya enggan mengatakan hal yang sebenarnya pada Tito?” Dia bertanya dengan nada penasaran

“Kurasa memaksa bukanlah jalan yang tepat, Tito masih remaja, bagaimana kalau dia tertekan dan malah menjauhi kita?”

“Dia sudah cukup dewasa untuk memahami kesulitanmu.”

“Tetap saja aku lebih suka memanjakan ketimbang memaksanya melakukan sesuatu,” kilahku seraya memicing menatap Rensa tak suka.

“Memanjakan bukan berarti membebaskannya dari semua tanggung jawab, Arista,” Rensa balas menatap tajam, ada penekanan pada setiap kata yang dia ucapkan. “Sebaliknya, memanjakan bisa jadi kompensasi atas tindakan yang seharusnya dia lakukan.”   

“Tapi aku nggak tega … dia sejak lahir sudah harus menanggung beban yang luar biasa,”

“Jangan memakai rasa kasihan sebagai alasan untuk merusak jiwanya, Tito nggak butuh itu, dia anak yang kuat dan cerdas … biarkan dia mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan … yang boleh kita lakukan hanyalah tidak berusaha menekannya dalam membuat pilihan.”

Aku hanya bisa diam seraya menghela nafas panjang mendengar kalimat Rensa. Meski membenarkan pemikirannya, aku tetap merasa kalau cara itu terlalu ‘keras’ untuk dilakukan.

“Sejujurnya aku takut Tito membenciku karena melibatkannya dengan semua yang seharusnya jadi takdirku.”   

“Apa kamu bercermin dari sikapku ke kamu selama ini?”

Aku mengangguk ragu. Sementara Rensa tampak menelan ludah kelu dengan mata nyalang menatap  ujung halaman.

“Tito bukan aku, hatinya tidak dikotori kebencian yang mendarah daging,” suaranya terdengar lirih, “bahkan akupun … sedang berusaha mengikis kebencian itu.”

Putri Sang PunyimbangDär berättelser lever. Upptäck nu