19. Sambutan tetua keluarga

19.1K 1.9K 231
                                    

Yang masih nungguin cerita ini, maaf ya kinerja emak lagi nggak lancar seperti orang sembelit.

Kesehatan Emak dalam sikon nggak bagus efek pancaroba, kalau nggak berubah juga ada kemungkinan Emak bakal hiatus buat sementara demi menghindar masuk rumah sakit dan kemungkinan dapet transfusi, ngeri tau sikon lagi begini main ke RS.

Harap dimaklumi ya.

Aziz berdiri terpana menatap remaja laki-laki disebelahku saat akhirnya kami bertiga bertemu di bandara.

Tentu saja aku mengerti apa yang sedang dia pikir dan rasakan sekarang. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakannya.

“Bagaimana?” Aku menanyakan pendapat sepupuku.

Dia menghela napas dari sela-sela bibirnya, “seakan-akan aku kembali kemasa lalu dan melihat Pak Dalom mengawasi kita saat bermain di tangga Lamban Balak,” jawab Aziz sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung.

Lagi-lagi aku tertawa, lalu menoleh pada Tito yang sedari tadi memang memandangi Aziz, menunggu untuk diperkenalkan.

“Tito, ini sepupu kita, Pun Aziz Syah Iskandar.”

Keduanya saling berjabat tangan kemudian Aziz merangkul Tito dengan penuh kehangatan.

“Kamu harus banyak belajar darinya untuk bisa menjadi lelaki Lampung sejati karena dia salah satu calon punyimbang marga di masa depan,” kataku sambil melirik Aziz yang balas menatap kepadaku dengan senyum terkulum.

“Jangan berlebihan,” dia memperingatkanku, lalu menatap pada adikku, “menjadi punyimbang tidak seseram yang diceritakan Kakakmu, kamu cuma perlu belajar rafting lalu menghapal nama varietas kopi diperkebunan keluarga saja, Ayah kalian juga melakukan itu dulu.”

“Rafting,” ulang adikku tanpa bisa menyembunyikan kilatan antusias di matanya, “kayaknya aku bakal suka deh.”

“Apa kalian sudah siap untuk perjalanan pulang, sekarang?” tanya Aziz pada kami berdua.

Dan anggukan dariku juga Tito membuatnya lekas mengambil alih tas yang kubawa kemudian mengiring kami menuju parkiran.

Berkat adanya jalan tol yang baru difungsikan dari pelabuhan Bakauheni hingga ke Palembang, jalan lintas yang biasanya padat sedikit lebih lengang, dan itu memangkas waktu perjalanan hingga kami bertiga tiba di Lamban Balak sebelum senja datang.

Begitu keluar dari mobil yang dikendarai oleh Aziz, adikku menatap takjub pada rumah berarsitektur campuran antara rumah panggung khas Lampung dengan gaya kolonial yang anggun.

“Lamban Balak adalah rumah milik keluarga kita, dan usianya mungkin sudah hampir satu abad dan masih ditempati oleh anggota keluarga Patranegara dari generasi ke generasi.” Aku menjelaskan pada adikku sementara mata Tito terus saja tertuju pada rumah kami.

“Di dalam terdapat satu kamar tidur utama dan sembilan kamar lain, aula depan yang luas itu sanggup menampung banyak orang dalam pertemuan adat.”

“Bisa dibilang ini adalah istana milik keluarga Patranegara,” ganti Aziz yang memberi penjelasan.

“Ayo kita masuk!” ajakku seraya mendahuluinya menaiki tangga utama yang berbentuk separuh lingkaran yang terbuat dari batu pualam abu-abu.

Sesampainya diruang duduk utama, aku melihat dua orang yang paling tidak ingin kutemui secepat ini telah menunggu seraya menikmati kopi dan kudapannya.

“Arista!” Sapa dan senyum Kajong Raihani menghentikan langkahku di anak tangga kayu menghubungkan aula utama dengan ruangan dalam. Dibelakangku, Aziz dan Tito ikut menghentikan langkah.

Putri Sang PunyimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang