15. (2) Kesepakatan dua musuh

8.5K 1.7K 172
                                    

Hai hai ... gimana kabarnya? masih patuh sama himbauan stay at home, gak sih?

Beberapa wilayah udah memberlakukan PSBB ya, tapi Palembang belum 😔, padahal udah masuk zona merah dengan 50 pasien positif di dalam kota, lebih lagi sudah berkembang kasus lokal bukan import lagi.

Yang aku lebih sedih adalah udah ada sejumlah petugas medis di empat RS yang positif covid-19 tapi dalam status orang tanpa gejala.

Beberapa orang yang aku kenal, mulai dari kerabat, teman bahkan mantan udah terjun langsung dalam tugas atau jadi relawan, untung Pak Su masih dikekep rapet-rapet dalam dekapan emak yang anget.

Mungkin disana keluarga kalian juga ada yang turun langsung ke ke medan biological warfare yang menjadikan covid-19 sebagai bioweaponsnya. Tetap semangati mereka ya, jangan tambahi beban mereka dengan bersikap masa bodoh dengan himbauan pemerintah dan medis.

Stay save, stay at home, dan stay distance saat keluar rumah.

Love u all readers.

"Dia cucu laki-laki pertama di keluargaku," Rensa buka suara. "Saat keluarga Alzier bangkrut setelah kematian Tamong, dia jadi yang pertama diungsikan keluar Liwa."

"Kenapa kamu nggak cerita sebelumnya!? Kenapa justru bersedia ikut rencana Aziz untuk mengaku jadi Riza?"

"Untukku, saat itu yang paling penting adalah menemukan Aristo, nggak peduli apapun caranya."

"Tapi sekarang yang keluargaku tahu, kamulah Riza Alzier," desisku menahan kecamuk emosi. "Apa kamu sadar akibatnya!? Kalau aku harus berakhir dengan pernikahan maka itu hanya terjadi dengan kamu sebagai mempelainya."

Rahangnya tampak mengeras, "kamu bisa bilang kita nggak cocok ... jadi pertunangan bisa dibatalkan."

Kuhela nafas panjang satu kali lagi sebelum menguatkan diri untuk meminta bantuannya.

"Apa kamu nggak bisa bantu aku dengan tetap pura-pura menjadi Riza?"

"Kamu minta bantuan?"

Aku mengangguk cepat.

Dia menatapku lurus ke manik mata, "terakhir kali anggota keluarga Patranegara meminta bantuan, satu nyawa keluargaku melayang."

Kata-katanya kembali menohok hati bagai palu yang menancapkan paku. Rensa selalu berhasil menanam rasa sakit itu kian dalam, bukan sekali tapi berulang kali.

Aku menghela napas mengurai sesak di dada. "Ini demi Aristo."

Senyum sinisnya terkembang. Aku tahu-setelah kejadian kemarin-dia tidak akan bisa kembali percaya sepenuhnya padaku. Tapi aku bahkan tidak punya pilihan lain saat ini.

"Satu-satunya hal yang aku inginkan hanyalah menyelamatkan kedudukan Aristo di dalam keluarga Patranegara," tegasku pelan nyaris tanpa kekuatan. "Aku ingin Tito yang jadi penerus keluarga Patranegara, bukannya laki-laki yang menikah denganku."

Rensa menatapku terpaku.

"Semua pengorbanan yang sudah dilakukan, harus dibayar dengan menempatkan Aristo di tempat seharusnya dia berada," kutatap Rensa dengan mata berkabut, "menurutmu apa itu akan jadi kenyataan kalau aku menikah dengan orang lain?"

Rensa sepertinya menyadari apa yang kusampaikan kali ini.

"Bagiku menikah dengan siapa saja hasilnya akan sama, tapi apa kamu pernah memikirkan apa yang akan terjadi pada Aristo!?" kutatap matanya dalam-dalam.

"Calon suami pilihan keluarga hanya akan menguatkan statusku sebagai ahli waris sah, kalau aku punya keturunan laki-laki dari pernikahan itu, maka kedudukan sebagai kepala marga akan jadi milik anak keturunanku dan bukannya Aristo."

Putri Sang PunyimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang