15. (1) Kesepakatan dua musuh

8.6K 1.8K 164
                                    

Yang nungguin cenayang ganteng nih Emak lempar ke kalian, tangkap yaaa ... Jangan nggak. 🤣🤣🤣

Emak cuma mau bilang terima kasih yang sebesar-besarnya buat para tenaga kesehatan dan relawan yang berjuang di garda terdepan penanggulangan wabah covid-19. Tanpa kalian entah apa jadinya kami yang Alhamdulillah masih sehat ini.

Buat readers kesayangan, semoga sehat selalu, tetap sehat, jaga jarak, dan jaga pikiran untuk selalu tetap positif dalam kondisi apapun, Insyaallah kita bisa melewati ini.

Kita di rumah aja hyuuuk, pantengin wattpad sambil bacain parade cerita babang tamvvan dari para penulis kesayangan.

Love u all, jangan lupa komen dan votenya dong ah!

Karena aku dan Rensa sama-sama membawa mobil, awalnya kami berniat untuk pergi dengan kendaraan kami masing-masing.

Tapi Tito meminjam mobilku untuk menjemput Ica, yang sedang kursus bahasa mandarin di daerah sekitar situ juga.

Tidak ingin Tito tahu kalau aku dan pamannya sedang terlibat perang dingin, aku terpaksa mengikuti Rensa masuk ke tempat penyiksaanku―mobilnya.

Kembali semobil bersama Rensa jelas merupakan ujian kesabaran untukku. Begitu duduk di sebelahnya aku memilih membayangkan Tuscany, kota cantik di Italia sebagai usaha menghindari interaksi verbal dengan laki-laki disebelah.

Well, pelesiran ke Itali jelas impian banyak orang. Aku termasuk diantaranya. Menghabiskan waktu secara berkualitas bersama seseorang yang kita cintai dan mencintai kita rasanya pasti menyenangkan.

Imajinasi itu sudah sampai ke ladang bunga lavendel dan danau Como, saat aku tersadar kalau benakku justru menghadirkan laki-laki di sebelahku dalam khayalan itu. Ya Tuhan, aku gila. Benar-benar sudah gila.

"Kemarin aku melihatmu di infotainment," tak menyadari isi pikiranku Rensa tiba-tiba buka suara. "Kamu cukup terkenal, ya?
"
"Kebetulan saja," suaraku terdengar kasar saat berkata, "kasusnya menyangkut publik figur sih!"

"Kamu yakin menang?" Dia bertanya lagi.

Jelas itu basa-basi saja. Mana ada sih laki-laki normal yang terlalu serius memperhatikan gosip dari infotainment.

"Aku sedang berusaha."

Kudengar dia menghela napas sesaat. "Tampaknya kamu benar-benar keberatan ada di sini bersamaku."

Akhirnya dia sadar juga. Aku menoleh ke arahnya. "Terus terang sih, lebih aman kalau kita benar-benar saling menjaga jarak."

Karena aku bisa gila kalau kamu mengikutiku bahkan sampai ke imajinasi! Ingin rasanya bisa mengatakan hal itu.

"Tapi demi Tito, lebih baik kalau aku bersabar." Untuk kamu lukai lebih lama bahkan di saat kamu tak melakukan apa-apa. Hatiku kembali menyuarakan perasaan terdalamnya.

Rensa tersenyum sambil melirikku. "Kalau kamu berkata jujur kamu tampak benar-benar mengerikan."

Aku agak kaget dan kecewa karena ternyata apa yang dilihatnya dari diriku berbeda dengan apa yang kulihat dari dirinya.

Ini tidak adil. Kenapa aku harus mengerikan di matanya sementara walau jahat, dia tetap terlihat memesona di mataku.

"Jelas itu warisan Bunda," itu jelas sindiranku untuknya.

Rensa menarik napas dalam-dalam seakan-akan tengah menahan diri pada sesuatu, tapi pada akhirnya kami hanya saling berdiam diri selama sisa perjalanan yang terasa bagai selamanya.

Ketika akhirnya mobil membelok di parkiran resto tujuan, aku bisa bernapas lega.

Seorang pelayan perempuan dalam balutan busana tradisional mengantarkan kami ke sebuah bale-bale cantik yang menghadap ke halaman resto yang ditumbuhi bunga lili air.

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now