12

5.4K 683 42
                                    

Happy reading!!! Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyak ya yaaa, thank youu ^^

***

Kaia dan Prabas telah menyelesaikan makanan mereka. Prabas sendiri tak menyangka bahwa dirinya akan menikmati makanan dari rumah makan pinggir jalan. Lemak sate kambing dan kuah tongseng berpadu dengan begitu pas menciptakan cita rasa yang tak pernah Prabas icip sebelumnya.

Dan... yang paling Prabas tak sangka-sangka adalah krupuk! Prabas sering melihat kerupuk tapi ia belum pernah mencicipi karena bentuknya yang aneh. Makanan yang selalu Prabas makanan lumayan variatif tapi lebih sering fokus ke makanan barat. Ia selalu mengikuti diet makanan yang sudah diatur oleh trainer gym-nya dulu dan kebiasaan itu terbawa sampai saat ini.

Tak disangka-sangka nya, krupuk ternyata segurih itu! Guilty pleasure tersendiri bagi Prabas.

Saking sukanya, Prabas sampai membungkus satu kaleng kerupuk sendiri membuat Kaia melihat pria itu dengan bingung.

"Kerupuk di rumahku sudah habis," begitu jawabnya.

"Okay."

Keduanya berdiri di depan kasir dan menunggu harga muncul di layar komputer. Tapi Prabas tak menemukan komputer di sana. Hanya sebuah kalkulator usang dengan sobekan kertas yang menuliskan harga makanan yang mereka makan. Prabas menahan tangan Kaia kemudian mengeluarkan dompetnya.

"Biar aku yang bayar."

"Nggak boleh, Pangestu! Kan aku yang ajak kamu ke sini. Ini bentuk terima kasih aku karena kamu sudah bantu aku presentasi!"

"Nggak apa-apa." Di saat mereka berdebat, Prabas memegang tangan Kaia dengan lebih erat sambil tertawa dan mengeluarkan kartu berwarna hitam dari dompetnya.

"Saya yang bayar, Pak," ujar Prabas sambil menjulurkan kartunya.

Penjaga kasir yang hanya mengenakan kaos kutang puting itu menatap Prabas dengan bingung. Tangannya bergerak-gerak mengipas wajahnya yang terasa panas.

"Saya bukan mesin ATM, mas."

"Oh?"

Kini giliran Kaia yang tertawa melihat kebodohan Prabas. Gadis itu mendorong tubuh besar Prabas untuk menyingkir kemudian mengeluarkan uang dari dompetnya. Setelah melakukan transaksi, Kaia mengajak Prabas yang termenung di tempat untuk kembali.

"Di sini itu nggak menerima pembayaran digital. Pakainya uang cash," ujar Kaia membuat Prabas mengernyit.

"Tapi di sini ramai. Bukankah lebih cepat transaksi pakai mesin debit-kredit?"

Kaia mengangguk kemudian memesan ojek online melalui aplikasi ponselnya.

"Iya, tapi nggak semua rumah makan mau berubah."

"Kamu mau aku antar pulang sekalian?" tanya Prabas masih memeluk toples besar kerupuknya. Pria itu membuka pintu mobil dan Kaia menggeleng.

"Kenapa?"

"Perumahanku sudah dekat. Pakai ojek aja sampai. Dan juga, papa dan kakak pesan untuk dibelikan nasi goreng di depan perumahan."

"Tapi aku bisa antar kamu."

Kaia mengangkat tangannya dan tersenyum menyapa ojek online yang sudah tiba. Gadis itu menepuk lengan Prabas sejenak. "Lain kali aja. Kamu harus segera kembalikan mobil itu ke temanmu. Bye Pangestu. sampai jumpa besok lagi."

Prabas melihat Kaia yang memperbaiki poninya ketika mengenakan helm. Pria itu tersenyum dan melambaikan tangannya saat Kaia pergi meninggalkannya. Ia sedikit khawatir karena gadis itu naik motor dengan posisi miring. Seharusnya ia menyarankan naik taxi saja tadi. Tapi Kaia terlihat nyaman di sana.

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now