22

5.4K 703 28
                                    

Tiga puluh juta? Dari mana Kaia mendapatkan uang sebanyak itu? Kaia menghitung kembali jumlah angka nol di layar ponselnya. Kaia tidak buta finansial sampai ia tidak bisa membaca jumlah yang tertera. Mungkin jika Kaia meminta kakak atau papanya, mereka pasti punya. Tapi jika Kaia minta tanpa ada alasan mereka tentu akan curiga.

Butuh berbulan-bulan untuk Kaia mendapatkan uang sebanyak itu jika hanya mengandalkan uang tabungan dari uang jajan bulannya. Apalagi Kaia bukan tipe yang memegang tabungan banyak-banyak. Keuangannya masih diatur oleh papanya. Kaia hanya menerima uang jajan bulanan dengan cadangan yang tak seberapa.

Apa yang harus ia lakukan saat ini?

Melihat wajah panik Kaia, Prabas hanya bisa berdiam diri. Ia bukan seseorang yang suka melakukan blackmail. Baginya itu tindakan pengecut. Tapi sebagai seorang pebisnis dimana ia melihat sebuah peluang untuk keuntungannya tentu Prabas rela menjilat ludahnya sendiri dan menjadi pengecut. Tindakan blackmail-nya kepada Kaia tentu untuk kepentingan dirinya sendiri.

"Sepertinya kamu nggak bisa membayarnya kembali, ya?" tanya Prabas tanpa menoleh ke arah kaia. Pandangannya jatuh pada bola golf yang jatuh ke dalam keranjang hijau di lapangan yang artinya pukulannya tepat sasaran.

"Akan butuh waktu lama untuk aku mengumpulkan uang sebanyak ini, Ini sama sekali nggak masuk akal."

Prabs mengangguk. "Hm... bagaimana kalau aku memberikan sebuah keringanan."

"Kerianganna?"

"Mari kita lakukan sebuah transaksi."

"Transaksi?' Kaia menurunkan ponselnya dan menunggu tawaran transaksi apa yang Prabas berikan kepadanya.

"Tidak apa-apa jika kamu nggak mampu membayar dengan uang. Kamu bisa membayarnya dengan cara lain."

"Apa?"

"Gunakan tubuhmu."

Kaia terperangah mendengarnya. Gadis itu mengambil langkah mundur dan memeluk tubuhnya cepat. Menghindar dari Prabas. ekspresi terkejutnya seketika berubah menjadi ekspresi jijik dengan sangat cepat. Ia tak menyangka... apakah nama yang tersemat itu benar-benar nyata adanya?

Kaia bukan seseorang yang suka memanggil orang lain dengan sebutan yang tidak baik. Namun mendengarkan tawaran yang pria itu ebirkan, kaia jadi mengegrti mengapa mereka menyebut sebagai-

"Apa yang kamu pikirkan? Ah, hatiku semakin patah telah dituduh macam-macam," ujar Prabas sambil memegangi dadanya.

"A-aku..."

"Apa yang bisa aku lakukan? Toh, semua orang sudah terlanjur menyebutku sebagai Jin ifrit, mereka tidak akan pernah mencoba melihatku dengan cara baik. Semuanya selalu memiliki praduga buruk kepadaku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka karena memang mungkin aku adalah manusia yang uruk. Ah... malangnya nasibku..."

Kaia yang hampir menyebut pria itu dengan Jin Ifrit semakin dibuat merasa bersalah. Gadis itu hanya bisa menundukkan kepalanya sambil menggumamkan kata maaf karena telah berburuk sangka. Bukan maksudnya ia menuduh Prabas macam-macam. Tapi penggunaan kata-kata Prabas memiliki konotasi negatif di kepala Kaia.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk ganti uangnya?" tanya Kaia untuk mengalihkan ucapan Prabas agar pria itu berhenti membuatnya terjebak di perasaan bersalah.

"Kita harus bertemu. Setiap pertemuan, aku akan mengurangi seratus ribu di luar cost lain. Jadi semisal kita bertemu untuk makan malam bersama. Makan untuk pertemuannya, aku akan mengurangi seratus ribu untuk pertemuan kita dan aku yang akan membayar makanan dengan mengurangi utang mu juga. Jika harga makan malam kita satu juta. Maka total aku akan mengurangi, 1,1 juta dari utangmu. Bagaimana?"

Apakah ada cara lain? kaia sungguh tidak ingin bertemu dengan pria itu. Bagaimana jika ketahuan oleh kakak atau papanya? Tapi apakah transaksi ini sepadan? Kaia berpikir sejenak. Saat merasa ia tidak memiliki pilihan lain, gadis itu pun mengangguk menerima tawaran tersebut.

"Bagus. Pilihan yang baik, Ai." puji Prabas sambil menepuk kepala Kaia yang masih menunduk.

***

Kaia sedang merapikan berkasnya. Sebentar lagi ia akan melakukan rapat bersama divisinya. Ponselnya bergetar dan nama Prabas muncul di layar ponselnya. Pria itu mengirimkan pesan rekap hutang Kaia. Gadis itu menghela nafas panjang. Setelah kesepakatannya dengan rabas minggu lalu untuk mengurangi utangnya sebanyak seratus ribu untuk setiap pertemuan, kini Kaia terjebak dengan rutinitas menemani pria itu di rooftop.

Ini adalah pertemuan kesekian kali mereka. Dan utang Kaia sudah tersisa 29,3 juta. Lima ratus ribu untuk lima kali pertemuan di rooftop dengan lima cup green tea yang satu cup seharga empat puluh ribu. Kaia hanya membaca pesan tersebut dan membiarkannya begitu saja.

Bersama staf lain gadis itu masuk ke dalam ruangan Bu Martha untuk mendengarkan arahan ketua tim mereka.

"Semua konsep sudah selesai. Kita ada briefing terlebih dahulu sebelum kita serahkan ke divisi multimedia."

Kaia duduk di barisan kursi terbelakang, memperhatikan layar yang memutar konsep iklan yang sudah dibuat. Gadis itu mengernyit merasa ada yang aneh melihat salah satu staf yang mewakili tim mereka untuk melakukan briefing.

"Dan awal tahun ini adalah momen yang tepat untuk meluncurkan iklan ini. Terima kasih untuk Sakti dan Winda untuk konsep iklannya yang luar biasa."

Kaia menahan diri untuk tidak bertanya sampai rapat mereka pun selesai. Setelah semua orang meninggalkan ruangan Bu Martha, Kaia menggunakan sedikit sisa keberaniannya untuk bertanya.

"Bu martha, maaf sebelumnya. Konsep ide barusan adalah milik saya."

Wanita berkacamata depannya itu melirik Kaia sejenak dan merapikan berkas di depannya.

"Kaia, kita ini satu tim. Siapapun yang punya ide itu tidak penting. Yang terpenting itu keseksinya. Kita ini butuh hasil, bukan cuma gambaran ide yang belum matang. Toh, seharusnya kamu berterima kasih kepada Sakti juga Winda, ide kamu bisa mereka poles sampai jadi."

Kaia mermas ujung jas kerjanya dan meangngguk. Dengan langkah gontai ia keluar meninggalkan ruangan tersebut. Itu idenya. Tpai tak sekecil biji pun namanya ditulis dalam kredit. ide konsep yang ia pikirkan setiap hari dibantu dengan Prabas kini telah diambil oleh orang lain.

Kaia tidak tahu kalau bekerja dalam tim artinya bebas dalam mengambil ide sesuka hati seperti ini. Mungkin ia yang terlalu naif dan masih membawa keambisiusannya di kampus dan berpikir semua tempat kerja adalah tempat yang ideal untuk berkreasi. Nyatanya tidak. Kaia mencoba tersenyum dan kembali duduk di kursinya.

Anak magang. Ia hanya anak magang. Siapa yang mau menerima ide konsep dari anak magang? Melihat Winda juga Sakti yang sedang berbincang membuat Kaia lebih skait hati. Terutama Bu Martha juga tidak menggubris akan kepemilikan ide itu.

Kaia hanya bisa menelan pil pahit dan lanjut bekerja. Baru lima menit ia duduk bersama laptopnya, tiba-tiba ia dipanggil oleh Sakti.

"Kaia, tolong ambilin makan di lobi ya... aku dan Winda traktir semua tim makanan, termasuk kamu, lho."

Kaia mengangguk dengan senyum simpul kemudian melakukan apa yang diminta oleh Sakti.

Anak magang... dirinya hanya anak magang... 

***

Jangan lupa beli MADA. Itu ceritanya recommended bangettt!!! Open PO-nya sampai tanggal 9 yaaa ^^

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now