38

4.8K 686 76
                                    

Kaia sedang membaca buku di sofa ruang tamu apartemen sambil menunggu Prabas selesai membersihkan dirinya.

"Ai... kamu bisa tolongin aku?"

Kaia menoleh ke belakang dan melihat Prabas yang belum menggunakan  pakaian. Masih bertelanjang dada tapi telah mengenakan celana kain panjang yang baru. Kaia tidak punya waktu untuk merasa malu karena keterkejutannya lebih besar melihat Prabas memegangi handuk yang penuh akan noda kemerahan.

"Bas! Kamu kenapa!?"

Tanya Kaia berlari menghampiri Prabas yang berjalan sempoyongan ke arahnya.

"Aku... terpeleset, kepalaku terbentur cermin," jawabnya dengan lemas. Itu jawaban setengah benar. Kepalanya memang terbentur cermin kamar mandi. Namun bukan karena terpeleset. Ia membenturkan kepalanya sendiri setelah memiliki pikiran yang sangat buruk. Prabas malu memiliki pemikiran layaknya setan. Maka dari itu untuk melupakan apa yang ia pikirkan, Prabas membenturkan kepalanya sendiri.

Kaia meraih handuk yang dipegang Prabas. Gadis itu mengernyit melihat luka di ujung pelipis pria itu. Cukup dalam. Nggak cukup dengan diperban saja. Butuh dijahit.

"Ugh... Bas... kita ke rumah sakit sekarang!"

"Nggak usah. Tolong hubungi dokterku saja. Kamu bisa pakai ponselku. Tolong..."

"Tapi lukamu serius sekali! Kamu perlu penangan cepat!"

"Ai, lebih cepat panggil dokterku daripada ke rumah sakit. Keburu aku kehabisan darah."

Kaia berlari ke kamar Prabas untuk mengambil ponsel pria itu yang berada di nakas tempat tidur bersama dompet, jam tangan juga kunci mobilnya. Kaia membuka ponsel milik Prabas. Terpampang foto candidnya yang menjadi wallpaper. Kaia dan Prabas saling bertatapan sejenak. Namun kali ini Kaia tak bertanya. Ada hal urgen yang perlu ia lakukan terlebih dahulu sebelum bertanya alasan mengapa Prabas memasang fotonya sebagai wallpaper.

Tak sampai lima menit setelah Kaia menghubungi dokter pribadi Prabas, seorang pria berkemeja biru tua datang tergesa-gesa. Pria itu terkejut ketika melihat Kaia. Namun mendengar Prabas yang memanggilnya, pria itu izin masuk.

"Astaga, Pas Bas... kenapa bisa sampai seperti ini?"

"Langsung tindakan saja. Jangan banyak berbicara."

Seperti terbiasa akan sikap Prabas yang dingin, pria itu hanya menggangguk kemudian melakukan prosedur penangan pada luka di pelipis Prabas. Untungnya bukan luka yang serius. Namun cukup dalam sehingga pria itu memberikan beberapa jahitan. Kaia sedari tadi berdiri di belakang sofa memegang tangan Prabas yang meminta berpegangaan tangan.

"Saya akan berkunjung besok lagi untuk memeriksa luka, Bapak. Untuk saat ini saya akan meresepkan obat untuk saya sampaikan ke Pak Kevin."

"Jangan Kevin, kirim ke Alatas."

"Baik akan segera saya forward ke Pak Alatas."

Dokter pribadi Prabas melihat tangan Prabas yang bergandengan tangan pada wanita yang tidak dikenalnya. Ia melirik wanita di depannya yang terasa familiar tapi ia tak merasa pernah mengenal wanita itu sebelumnya.

"Jangan beritahu kakek."

"Baik, pak."

"Oh, satu lagi. Tolong periksa keadaan dia sebentar."

"Aku?" tanya Kaia yang bingung.

Prabas bangun dari rebahannya dan mengajak Kaia untuk duduk di sampingnya. Tatapan pria itu melembut. "Kamu kan habis hujan-hujanan. Jangan sampai kamu sakit."

"Aku nggak apa-apa kok. Aku masih sehat."

"Nona, saya permisi periksa sebentar."

"Tapi saya nggak sakit, dokter."

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now