37

4.4K 682 136
                                    

Diajak berkunjung ke apartemen Prabas, sama sekali tidak ada di daftar rencana hari Kaia. Gadis itu duduk dengan gugup. Selama perjalanan hanya hening yang menyelimuti. Bahkan suara hujan yang menabrak jendela mobil pun terdengar kosong di telinga Kaia. Kata apartemen terngiang-ngiang di kepalanya.

Apa boleh seperti ini?

Saking terlalu gugupnya, ketika Kaia mendongak, tiba-tiba saja mereka sudah tiba di apartemen milik Prabas. Mereka berjalan dengan bergandengan tangan. Seperti seseorang yang telah dihipnotis Kaia sama sekali tidak menolak di ajak masuk. Gadis itu baru tersadar ketika pintu di belakang ditutup oleh Prabas.

“Aku akan siapin air hangat buat kamu berendam. Kamu bisa gunakan mesin cuci juga pengeringnya. Sambil nunggu aku siapin pakaian hangat sebentar.”

“Kamu… tinggal sendirian?” tanya Kaia yang mencoba mencari topik pembicaraan agar kegugupannya bisa hilang. Jari-jarinya sibuk memilin ujung kaos polonya yang basah. Prabas meninggalkannya sendirian untuk mengambil handuk baru. Pria itu kembali memberikan Kaia handuk yang hangat dan wangi.

“Iya, aku tinggal sendirian.”

“Kenapa nggak tinggal sama Pak Salim?"

“Nggak suka aja. Aku nggak suka kakek yang berisik.”

“Oh…”

“Kamar mandi ada di dalam kamar.”

Kaia mengusap handuk yang Prabas berikan pada wajahnya dan ikut dengan Prabas ke dalam kamar. Gadis itu menunggu dengan sabar di ujung pintu melihat Prabas yang sibuk mencari pakaian baru di lemari besarnya.

Sambil menunggu, Kaia melihat sekeliling. Dinding sebelah barat kamar pria itu terbuat dari kaca, memisahkan kamar dengan balkon kecil, Kemudian di sebelah timurnya sebuah lemari besar dan panjang memenuhi seluruh bagian dinding. Di depan tempat tidur terdapat rak yang penuh akan buku. Di bagian tengah rak, duduk sebuah tv layar tipis dengan beberapa pigura foto di bawahnya.

Kaia mendekat karena penasaran melihat wajah Prabas kecil yang duduk di samping Pangestu Salim. Prabas kecil sudah terlihat sangat elegan. Dengan setelan jas hitam dan celana kain pendeknya membuatnya terlihat seperti seorang pangeran muda.

Gadis itu mengerutkan keningnya melihat foto yang cukup familiar. Diangkatnya untuk Kaia melihat lebih jelas. Sebuah potret anak perempuan yang berdiri di belakang kamera menggunakan toga kecilnya. Wajahnya yang sembab terlihat seperti baru menangis. Kaia tentu kenal potret itu! Itu kan dirinya!

“Bas, ini-”

Belum sempat Kaia selesai bertanya pria itu merampas potret tersebut dan meletakkannya kembali di tempat semula.

“Ah… itu… aku cuma punya pakaian ini yang ukurannya kecil. Kamu nggak apa-apa kan?”

“Itu tadi fotoku, bukan? Kenapa ada di kamu?”

Prabas yang selalu terlihat tenang dan menguasai segala situasi tiba-tiba menjadi gelagapan dan menutup pigura tersebut agar Kaia berhenti melihat foto yang dicurinya dari kediaman Tio Saujana.

“Aku… kamu mandi dulu, nanti aku jelasin. Air hangatnya sudah siap. Bibir kamu juga sudah membiru, alangkah lebih baik untuk segera berendam. Nanti aku jelasin.”

Prabas menarik kedua pundak gadis itu dan menggiringnya ke dalam kamar mandi. Prabas pun menutup pintu kamar mandi cepat. Ia mengusap wajahnya beberapa kali untuk menjernihkan isi pikirannya kembali. Ketika terdengar suara ‘klik’ tanda Kaia telah mengunci pintu kamar mandi, Prabas pun menghela napas lega.

Prabas hampir tidak pernah merasa gugup seperti ini. Berdiri sebagai pemimpin di hadapan ribuan orang. Memberikan pidato umum dan diwawancarai oleh banyak majalah bisnis, tidak pernah membuat Prabas bergetar. Namun hanya dengan kehadiran Kaia d kamarnya membuat otak Prabas berpikir liar membuat Prabas ingin mengumpati dirinya sendiri.

Jangan Bilang Papa!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ