Dua

43.3K 3.2K 25
                                    

Remi termenung, lalu perlahan mengangguk. Itu buka ide buruk. Mereka bisa terlepas dari kecurigaan jika bisa berbohong dengan menyakinkan.

Sesungguhnya jika dia bisa keluar dan pulang, itu lebih baik. Namun, jika Remi meninggalkan kamar ini, dia yakin tidak akan pernah kembali ke sini. Dan jika semua itu terjadi, masalah lah yang menantinya di masa depan.

"Oke," kata Remi pelan.  Dia berdoa dalam hati, semoga satu kebohongan ini, tidak akan menimbulkan kebohongan lain yang bisa membawanya dalam masalah lebih besar. "Kita lakukan seperti yang kamu katakan." Remi bergerak hendak turun dari ranjang, lalu meringis dan segera menutup mulut saat rasa malu menyerang.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Remi melangkah ke kamar mandi. Dia mengunci dirinya dan segera jatuh terduduk dengan air mata mengalir deras. Remi memukul dada beberapa kali saat rasa sesak di sana semakin tak tertahankan.

"Kamu sungguh bodoh, Remi. Kamu sungguh memalukan dan tidak berguna." Remi menjambak rambut sembari membenturkan kepala ke tembok berkali-kali.

Dia ingin terus melakukan itu dan mengurung diri di sana untuk meratapi kebodohan yang baru saja dilakukan. Tetapi keadaan tidak memungkinkan, Remi harus bergegas membersihkan diri jika tidak ingin hidupnya semakin menyulitkan.

Dengan gerakan perlahan Remi melepas selimut dari tubuh. Dia memejamkan tanpa berani menatap tubuhnya sendiri. Cukup menatap tubuh bagian atas Bumi, Remi sudah tahu hal yang sama akan terjadi pada tubuhnya.

Remi membersihkan diri dengan cepat, mengosok seluruh tubuh agar jejak-jejak yang ditinggalkan Bumi menghilang sepenuhnya. Hal yang percuma, namun tetap dia lakukan. Setelah selesai, Remi segera melilit tubuhnya dengan handuk dan berganti pakaian masih tanpa melihat cermin.

Setelah merasa tertutup sepenuhnya, Remi baru memberanikan diri menghadap cermin dengan perasaan campur aduk. Andai tidak perlu merias diri, Remi tidak akan mau menatap manusia terbodoh di dunia ini.

Remi hanya mampu menatap wajahnya sendiri selama beberapa detik sebelum tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Remi juga melakukan hal yang sama pada pipi kanannya. Dia melakukan hal itu berulang kali sebelum berhenti setelah kedua pipinya memerah.

Tanpa meringis, Remi mulai merias dirinya sendiri dalam diam. Dia membuang jauh-jauh rasa ingin lari.

Remi sedang memakai pensil alis saat tatapannya beralih ke leher tanpa sadar. Tangannya langsung bergetar, pensil hasil segera jatuh ke lantai kala Remi menyadari ruang di sekitar lehernya terlihat sangat jelas.

"Bodoh." Remi memaki sembari meninju kaca, sebelum mulai menutupi ruam-ruam di sana dengan bedak senatural mungkin. Dia ingin menghilangkan jejak dengan sempurna.

Setelah merasa menampilannya baik-baik saja, Remi melangkah keluar. Sprei putih yang dia lupakan tidak terlihat lagi, kini sprei merah mudah menggantikannya.

Remi sedang mengemas barang bawaannya dan melangkah keluar kamar saat berpapasan dengan Bumi di depan pintu. Lelaki itu menggaruk belakang kepalanya, tampak canggung sebelum menyingkir ke samping dan mempersilahkan Remi lewat tanpa menatap lagi.

Remi tidak mengatakan apa-apa, dia melewati Bumi dengan cepat dan kebingungan saat ditinggal sendiri di ruang tamu yang masih berantakan.

Sisa makanan masih ada di atas meja, namun sudah tersusun dengan rapi. Tampaknya Bumi tadi membersihkan jejak kekacauan yang mereka lakukan semalam sebelum pindah ke kamar.

Karena tidak tahu melakukan apa, Remi hanya termenung sampai bel berbunyi beberapa kali. Tanpa diinginkan jantung Remi mulai bergemuruh, keringan dingin juga mulai membasahi tangan. Remi tetap terdiam, dia menunggu Bumi untuk keluar dari kamar, namun lelaki itu tidak terlihat.

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now