Dua Puluh Tiga

15.4K 973 72
                                    

Mata Remi sudah memerah, dia juga ingin menangis seperti Radi. Melepaskan semua kegelisahan yang berkumpul di dalam hati. Namun, Remi tidak bisa melakukan itu. Jika dia menangis, Radi akan menangis semakin kuat. Jika itu terjadi Remi yakin, dia tidak dapat berpikir dengan jernih lagi. Sekarang saja dia hanya dapat memeluk Radi erat, mengabaikan semua tanya di sekitar.

"Mbak, baik-baik saja?"

"Apa ada yang terluka?"

"Bagaimana dengan anaknya?"

"Luka itu, ada darah di sikunya."

"Mbak ayo saya antar ke rumah sakit."

Mendengar suara-suara di sekitarnya, Remi semakin menunduk. Mereka sangat berisik, membuat ketakutannya kian bertambah. Apalagi saat sudut matanya melihat beberapa orang yang tengah mengambil gambar atau vidio. Kapala Remi mejadi kian pusing

"Sudah ada yang menghubungi polisi?"

"Itu tadi ada Bom, ya? Tabrakan biasa tidak mungkin menimbulkan ledakan sampai seperti itu."

Remi membeku, perlahan mengangkat kepala. Ingin melihat mobil yang beberapa detik lalu berada sangat dekat dengannya. Hanya saja Remi tidak bisa melihat dengan jelas, dia malah melakukan kontak mata dengan lelaki asing yang memiliki aura keberadaan begitu kuat tengah berjalan mendekatinya dengan langkah cepat.

"Kita ke rumah sakit sekarang."  Tanpa basa-basi lelaki yang tak dikenalnya ingin merebut Radi dari dekapannya. Membuat Remi menggeleng dan memeluk Radi kiat erat.

Remi menatap takut lelaki di depannya. Kepala lelaki itu mengeluarkan darah, tetapi lelaki itu bahkan tidak merasa kesakitan sama sekali. Tidak mengernyit dan gerakannya juga sangat cepat. Padahal darah segar terus mengalir di keningnya yang terus diusap agar tidak mengenai mata setiap waktu.

"Jangan keras kepala kalau kamu masih mau merawat anakku?"

"A-apa?" tanya Remi tergagap, dia menatap lelaki itu dengan bingung. Namun, keterkejutan yang hanya seperkian detik di lihatnya sudah tidak ada lagi di wajah lelaki itu. Lelaki itu malah menatapnya tajam.

"Jangan keras kepala. Kamu dan Radi butuh perawatan segera."

Remi menatap Radi yang masih terus menangis, lalu saat dia hendak mengeluarkan suara, tangannya sudah lebih dulu ditarik dan Remi berdiri dengan Radi tetap di gendongannya.

"Kita pergi sekarang."

Lelaki itu benar-benar aneh dan keras kepala. Setelah dia memaksa Remi pergi ke rumah sakit bersama, dia memerintahkan beberapa laki-laki berpakaian hitam untuk mengurus segalanya. Remi yang kebingungan hendak kembali terjatuh karena  kakinya ternyata masih bergetar, tak sanggup berdiri, apalagi berjalan.

Namun, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Lelaki itu mengambil Radi dan menggendongnya sebelum memeluk bahu Remi dan membawanya pergi. Tidak sedikitpun memberi Remi kesempatan untuk mengeluarkan suara.

"Aku tidak akan membawamu dan Radi dalam masalah," kata lelaki itu kembali menyerahkan Radi ke dalam pelukan Remi begitu mereka masuk ke dalam mobil.

Remi ingin bertanya dari mana lelaki itu tahu nama Radi. Tetapi, dia mengurungkan niat saat mobil berjalan dan tangisan Radi kembali mengeras.

"Ssshhh... tenang, Sayang," kata Remi mengusap kepala dan punggung Radi berulang kali. Namun, karena tangisan Radi tak kunjung mereda, Remi mengurai pelukan mereka. Lalu membingkai kedua pipi anaknya yang penuh air mata. "Anak baik jangan menangis lagi, ya. Lukanya nanti gak sembuh-sembuh, loh."  Remi tersenyum saat perlahan tangisan Radi mulai mereda. Dia menunjukkan luka lecet yang ada di lengan Radi dan meniupnya beberapa kali. "Udah gak sakit lagi, kan?"

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now