Dua Puluh Empat

11.1K 591 67
                                    

Selamat membaca 😘😘

"Tidak. Kamu salah, Radi bukan anak Laura." Remi menggeleng tegas, dia merasa bulu kuduknya berdiri. Merinding mendengar ucapan Aone yang dapat dia artikan suatu hari lelaki itu akan kembali dan mengambil Radi dari pelukannya. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi,
apa pun suara yang di keluarkan Aone, Remi akan tetap bertahan.

"Kamu tidak perlu berbohong. Semua datamu dan Radi ada di tanganku."

Remi membeku, dia menatap Aone dengan keterkejutan yang tidak bisa di tutup-tutupi.

"Sekarang kamu paham, kan? Jangan pernah mencoba bersembunyi, karena aku akan selalu mengawasi kamu." Lagi-lagi Remi tersentak. "Ah, jangan salah paham. Aku tidak mengancam, aku hanya ingin kamu tahu jika akan selalu ada yang menjaga Radi dari jauh."

Remi membeku, lalu menggeleng. Aone salah, Radi bukan anak Laura.
Anak Laura memang ada, tetapi dirawat oleh adik Laura yang sekarang entah ada di mana. Sudah lama sekali Remi kehilangan kontak.

Memang semua data yang ada menunjukkan jika Radi anak Laura, tetapi semua itu dia yang membuatnya agar ibu dan ayahnya tidak curiga. Remi tidak mungkin memberi tahu ibu dan ayahnya jika Radi anak Laura tanpa bukti. Namun, sekarang bukti-bukti yang susah payah dia buat menjadi bumerang.

"Kamu salah paham, Radi anakku." Remi menggigit bibir, haruskah dia memberi tahu tentang keberadaan anak Laura yang sebenarnya. Dia sudah berjanji pada Laura untuk merahasiakan keberadaan Denis dari siapa pun. "Meski semua data yang kamu kumpulkan menunjukkan jika Radi anak Laura, tetapi itu semua palsu. Aku bisa membuktikan jika Radi anak kandungku."

Tidak mendapat respons apa pun dari Aone, Remi mendongak. Dia membeku saat melihat Arkan berdiri di hadapannya dengan Radi yang terlelap di gendongan. Dari wajah terkejut Arkan, Remi tahu adiknya itu sudah mendengar apa yang dia katakan.

Ya, Tuhan. Apa yang harus Remi lakukan sekarang? Rahasia yang sudah dia sembunyikan, terbongkar dari mulutnya sendiri.

"Arkan," kata Remi menahan tangis saat melihat mata adiknya yang terlihat kebingungan.

"Apa yang Kakak bilang tadi benar?" tanya Arkan setelah terdiam cukup lama.

Remi mengangguk, setetes air mata jatuh mengaliri pipi. Tidak ada lagi yang bisa dia sembunyikan dari Arkan. Adiknya itu mendengar sendiri dari mulutnya, jika dia membantah dan memberi alasan, Remi yakin Arkan tidak akan percaya seratus persen lagi padanya. Cepat atau lambat, Arkan akan mencari tahu, jadi dari pada adiknya menemukan kenyataan setelah dia berbohong, lebih baik Remi mengakuinya sekarang. "Maaf, Kakak sudah berbohong selama ini."

Arkan terdiam menahan amarah. Bisa-bisanya Remi berbohong pada keluarganya selama ini. Namun, saat melihat kaka perempuannya menangis semakin parah sembari terus meminta maaf, hati Arkan melemah, matanya juga mulai memerah setelah memikirkan apa yang dialami Remi selama ini.

"Tidak apa-apa, Kak. Kakak tidak perlu minta maaf padaku," kata Arkan mendekat. Dia ingin memeluk Remi yang mengeluarkan air mata semakin banyak, tetapi dia tidak bisa ada Radi dalam gendongannya.

Jujur saja Arkan masih sedikit marah dan kecewa pada Remi. Tetapi, bukan karena Remi sudah hamil dan melahirkan di luar pernikahan. Dia marah dan kecewa karena Kakak perempuannya ini tidak menceritakan masalah ini padanya atau pada anggota keluarga mereka yang lain. Arkan juga lebih marah pada diri sendiri saat membayangkan Remi berjuang keras mengurus Radi seorang diri. Dari awal kehamilan sampai Radi sebesar ini, Remi berjuang seorang diri tanpa ada yang menemani.

"Seharusnya aku yang meminta maaf, Kak. Aku bodoh karena tidak mencurigai kepergian Kakak yang tiba-tiba. Padahal aku tahu Kakak lebih suka tinggal di sini," kata Arkan menyesal karena tidak menaruh curiga sedikit pun pada kepergian Remi yang tiba-tiba.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Enam Tahun KemudianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang