Lima

37.3K 3.2K 199
                                    

Remi menatap Bumi dengan kemarahan yang terlampau besar, sampai dia sendiri tidak bisa menampung. Rasanya dia ingin kembali memukul mulut lelaki itu yang sudah mengeluarkan kata-kata keji untuk keluarganya dengan keras.
Dia juga muak dengan Bumi, dia tidak tahu apa yang merasuki lelaki itu. Bisa-bisanya Bumi berpikir dia mendekati lelaki itu karena uang. Dan  yang paling membuat marah, Bumi tega mengatai Ayah dan ibunya yang tulus berteman dengan orang tua lelaki itu dengan  tuduhan palsu.

Properti keluarga Bumi memang tidak ada duanya, perusahan di bidang makanan mereka juga terus berkembang. Bisnis pakaian dan tranformasi juga semakin melejit setiap harinya.  Akan tetapi Bumi tidak seharusnya meremehkan usaha perkebunan ayah dan ibunya.

Memang usaha keluarnya hanya  perkebunan sawit saja.  Akan tetapi  sekali panen ayah dan ibunya bisa menghasilkan ratusan juta.

"Kamu bajingan sialan," kata Remi menunjuk wajah Bumi. Dia menatap lelaki itu beberapa detik sebelum berbalik dan pergi meninggalkan lelaki itu seorang diri.

Dalam perjalanan keluar mall dengan kemarahan yang semakin besar, Remi mengerutkan kening. Hanya sekilas memang, tapi dia yakin tadi sempat melakukan kontak mata dengan Nina. Akan tetapi saat mencoba melihat lebih teliti, dia tidak menemukan Nina di sana.

Remi mengabaikan hal remeh tersebut. Ini tempat umum, Nina bisa ada di mana saja. Apalagi Bumi juga ada di sini. Di mana ada Bumi, di situ ada Nina. Hal tersebut sudah biasa baginya.

"Hei, mau ke mana?" Remi menghentikan langkah saat Selvi berdiri di depannya dengan wajah bingung.

"Pulang," kata Remi pelan. "Urusan aku udah selesai." Remi tidak menunggu jawaban Remi, dia segera bergeser dan melanjutkan perjalanan.

"Loh, kok pulang? Bumi gimana?"

"Gak, tahu. Aku sibuk," ucap Remi tanpa berbalik.

Selvi yang mendapat respons seperti itu mengerutkan kening bingung. Dia melihat punggung Remi yang semakin menjauh, sebelum menatap tempat mereka janjian. Bumi masih ada di sana, duduk seorang diri dengan wajah berantakan.

Bingung, Selvi mengerutkan kening  sembari melangkah ke arah Bumi. Nanti dia akan menghubungi Remi setelah urusannya dan Bumi selesai. Karena selain masalah bayaran, dia juga memiliki urusan lain dengan Bumi yang perlu diselesaikan secepatnya.

Selvi baru melewati pintu saat melihat Bumi bangkit dan melangkah ke arah kamar mandi. "Bumi!" Selvi berteriak, dia hendak mendekat saat mendengar suara dingin lelaki itu.

"Tunggu saja di sini, aku akan segera kembali. Pesan apa pun yang kamu inginkan." Bumi melanjutkan langkah dengan cepat. Dia tiba di kamar mandi dan segera mmbersihkan wajahnya dari noda jus.

Bumi membuang tisu bekas pakai ke tong sampah, dia mengumpat dan menendang udara. "Sialan, sialan, sialan," makinya berulang kali. Bumi kesal pada Remi.

Bagaimana tidak, sehari sebelumnya Bumi mengajak Remi bertemu, dia melihat ibunya menangis penuh kesedihan.  Sungguh dia tidak tega melihat itu semua. Bumi juga marah, dia ingin menghancurkan siapa pun yang membuat ibunya menangis.  Usia ibunya sudah 70 tahun, Bumi hanya ingin hal-hal bahagia yang menemani masa tua ibu dan ayahnya.

Akan tetapi keinginan itu pun sulit. Saat dia bertanya pada sang Kakak kenapa ibunya menangis, dia mendapati jawaban mengejutkan. Kerja sama di bidang kesehatan terancam batal. Banyak investor menarik saham mereka saat mendengar keluarga Ardana dan keluarganya berseteru. Isu keluarga Ardana mendekati mereka karena uang juga menyeruak, membuat sebagian orang berpikir kerja sama ini akan berakhir sia-sia dan merugikan. Tidak akan ada jalan maju dengan adanya masalah ini.

Bumi marah saat itu. Namun, dia juga merasa aneh. Meski tidak tahu sebanyak apa lahan sawit yang dimiliki keluarga Ardana, tetapi ayah dan ibunya pernah bilang keluarga Ardana cukup kaya. 

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now