Tujuh

36K 3.4K 99
                                    

"Mami! Apa benar kita mau pindah ke tempat Oma?"

Remi menghentikan tangan yang tengah memotong wortel untuk melihat pintu di depannya. Dia tersenyum saat anak lelaki berumur lima tahun keluar dari sana dengan  robot-robotan berwarna  hitam di tangan.

"Oma bilang kita akan tinggal di rumah Oma. Apa itu benar, Mami?" tanya anak kecil itu lagi setelah berada di dekat Remi.

Remi menunduk, mensejajarkan tingginya dengan anak lelaki mengemaskan tersebut. "Kamu mau tinggal di rumah Oma?" tanya Remi balik pada Radi. Dia tersenyum saat melihat anggukkan semangat anak itu..

"Ladi mau tinggal sama Oma."

"Ladi? Siapa itu?" tanya Remi dengan senyum menggoda.

"Mami. Ini Ladi. Ladi ada di depan Mami." Radi menarik tangan Remi dan meletakan tangan tersebut di pipinya. "Ini Ladi," katanya tegas.

Remi terkekeh. Dia memgusap pipi gembul Radi sebelum menciumnya  dengan gemas. "Anak Mami namanya Radi, buka Ladi," kata Remi dengan senyum lebar saat melihat Radi cemberut.

Entah bagaimana ceritanya, diusianya yang sudah mencapai angka lima, Radi masih sangat kesulitan mengucapkan kalimat R dengan jelas. Padahal Remi sudah membiasakan, tetapi Radi tetap kesulitan.

Seingat Remi dikeluarkannya semua fasih jika mengucapkan kalimat R, tetapi tidak tahu di keluarga ayah Radi.  

"Tapi benar kan Mami, kita akan pindah ke tempat Oma."

Remi mengangguk. "Iya, Sayang. Minggu depan kita pindah ke tempat Oma. Kamu tidak apa kan harus pindah sekolah, les dan jauh dari teman-taman."

"Gak apa. Teman-teman di sini jahat. Mereka selalu mengatai Ladi ga punya Ayah, ups." Radi menutup mulut, lalu saat merasakan tatapan terkejut sang Ibu, Radi segera memeluk leher Remi, mencium pipi ibunya beberapa kali sebelum berlari kembali ke ruang tamu saat suara dari kartun anak-anak terdengar seperti memangilnya. "Ladi mau nonton dulu, Mami."

"Radi tunggu Mami!" Remi menghela saat panggilannya tidak di gubris. Anak itu terus berlari dan menghilang dari pandangan.

Bangkit berdiri, Remi menghela. Dia memijat pelipisnya yang terasa sakit. Remi tahu ini bukan kali pertama teman-teman TK dan Les Radi mengatai anaknya tidak punya ayah. Dia juga kerap kali meminta guru-guru untuk mengawasi pergaulan anak-anak agar anaknya tidak semakin terluka, dan jika sudah terlampau parah Remi juga sering memindahkan TK dan tempat Les Radi.

Melihat tidak ada keluhan Radi setengah tahun ini, dia kira Radi sudah baik-baik saja dan bisa berteman dengan baik dengan teman sebayanya. Apalagi saat dia tanya bangaimana suasana sekolah dan tempat Les, Radi selalu menjawab baik dan dia bersenang-senang. Dia kira Radi memang bersenang-senang bersama teman sebayanya.

Namun, ternyata dugaan Remi salah. Anak itu menyimpan semuanya sendiri.

Merasa pusing semakin menyiksa, Remi melepas celemek dan melangkah menjauhi dapur. Dia tersenyum saat melihat anaknya menonton kartu kesukaan dengan tawa gembira. Anak itu juga bergerak aktif jika di rumah, selalu tersenyum ceria sampai Remi tidak pernah curiga.

Dia memang ibu yang bodoh, tidak berpengalaman tapi sudah berani membesarkan anak sendiri. Jauh dari orang tua dan kerabat yang bisa dimintai tolong.

"Gimana acaranya?" tanya Remi duduk di samping Radi. Dia mengelus kepala bocah itu sembari menciumi kepalanya beberapa kali. 

"Kapten Zolo teluka. Mami ayo kita carikan obat." Radi bergerak ke sekitar mainannya, dia mengambil alat periksa dan mengalungkannya.

Remi terkekeh, dia merangkul Radi setelah anak itu kembali duduk di sisinya. Remi memperhatikan Radi yang tertawa saat adegan lucu muncul. Tawa renyah Radi membuat hatinya menghangat. Rasa lelah dan takut hilang dalam sekejap. Radi adalah satu-satunya obat penyemangat yang sangat dia butuhkan.

Enam Tahun KemudianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang