Sembilan

34.4K 3K 66
                                    

Remi menatap sekitar, kamarnya tidak ada perubahan, tetap rapi dan bersih setelah di tinggal enam tahun lamanya. Remi senang mendapati itu semua, dia tinggal rebahan begitu tiba di sini.

Lelah setelah perjalanan jauh, Remi ingin segera tidur. Apalagi sekarang tidak ada yang perlu dikerjakan, Remi sudah menyapa adik laki-lakinya dua jam lalu. Mereka sudah banyak mengobrol dan juga makan siang bersama.

Sekarang, meski jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Remi tetap ingin tidur barang sekejap saja. Dia tiba-tiba mengantuk melihat ranjang yang pernah menjadi favoritnya enam tahun lalu.

Mengerakkan badan, Remi menguap. Dia benar-benar mengantuk. Tidak kuasa menahan lagi, Remi bersiap merebahkan diri saat teringat jika ranjang ini nantinya akan ditiduri bersama Radi. Dengan gerakan malas, Remi bergerak ke kamar mandi.

Saat tubuh sudah terbebas dari sehelai pun benang, Remi menatap cermin. Dia mengelus bekas luka di perut dengan tatapan menerawang.

Lima tahun lalu dia harus menjalani operasi tanpa ditemani siapa pun saat melahirkan Radi. Masa-masa yang sangat mengerikan dan penuh perjuangan.

Tekanan darah Remi sempat naik-turun saat dibayangi kematian. Remi sangat takut akan meninggal saat tidak ada satu pun keluarganya yang tahu jika dia akan melahirkan seorang anak. Dia takut tidak sempat bertemu anaknya, dia sangat takut buah hatinya tidak akan ada yang mengurus saat dia tidak terselamatkan.

Beruntung Remi bisa melewati itu semua. Jika mengingat kejadian itu, dia selalu bersyukur Tuhan masih mengizinkannya hidup di dunia. Bersyukur karena dia diberi kesempatan untuk membesarkan anaknya dengan tangan sendiri. Ah, Remi juga bersyukur telah di beri waktu untuk berkumpul dengan keluarganya lagi.

Remi mengusap sudut mata, dia jadi emosional setiap mengingat kejadian itu. Dia juga jadi merasa bersalah karena waktu yang Tuhan beri padanya tidak juga dia manfaatkan dengan baik untuk beberapa hal.

"Sudahlah," kata Remi tanpa sadar. Di menggeleng saat sadar sudah berbicara sendiri. Tidak ingin semakin gila, apalagi ini di kamar mandi yang telah lama tak dihuni, Remi segera menyalakan shower dan membasahi diri. Dia akan mandi dengan cepat agar bisa segera bermesraan dengan ranjang, selimut dan bantalnya.

Lima belas menit kemudian Remi benar-benar terlelap. Bahkan dia tidak tahu saat ibunya masuk ke kamar bersama Radi.

"Mami lagi tidur, Sayang. Kamu mandi sama Oma saja, ya. Ah, bagaimana kalau kita berenang dulu sebelum mandi," kata Rina  dengan suara pelan. Tidak ingin mengganggu Remi yang tertidur lelap.

Radi mengangguk semangat. Dia sudah bersiap bersorak jika tidak mendengar pergerakan Remi yang menggeliat.

"Ayo, kita keluar. Biar Mami bisa tidur lebih lama." Rina mencari baju renang di lemari pakaian Remi, sebelum mengiring cucunya keluar. Sebelum Remi tiba di sini, pakaian serta mainan Radi sudah di kirim lewat exspedisi lebih dulu.

"Oma, Ladi belum izin Mami. Nanti Mami malah kalau Ladi belenang  sendili." Radi menghentikan langkah di depan kamar Remi. Suaranya khawatir akan kena marah, tetapi tatapan yang dimiliki Radi malah sebaliknya. Anak itu terlihat sekali sangat berharap.

"Nanti kalau Mami sudah bangun, Biar Oma yang bilang. Radi tenang saja, Mami tidak akan pernah marah." 

"Benarkah?" Radi bertanya penuh harap, saat Omanya mengangguk dia bersorak dan meminta sang Oma segera membawanya ke kolam renang. Radi tampak sekali tidak sabar bermain air.

Gara-gara Radi yang terlihat sangat antusias, buka hanya Omanya saja yang menemani berenang. Dia juga ditemani Opa dan ketiga saudara lelaki ibunya yang masih betah membujang di usia yang tidak lagi muda.

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now