Dua Puluh

19.5K 1.6K 60
                                    

Awalnya Remi ingin mengabaikan saja, toh lelaki itu juga yang memutuskannya sendiri.  Namun, setelah selesai makan malam dan di ponselnya ada panggilan tak terjawab dari Bumi, dia memutuskan menelepon Bumi kembali setelah berpikir lama. Dan Remi tidak perlu menunggu lama sampai panggilannya diangkat.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Remi tepat begitu Bumi selesai mengatakan halo. Tawa dari seberang sana membuat Remi menggerutu kesal. "Kamu menelepon karena ingin berbicara hasil pertemuanmu dan Nina, kan? Jika tidak, aku matikan."

"Tunggu."

Remi berdecak, dia mengelus kepala Radi sebelum memilih duduk di meja rias. "Cerita semuanya jika kamu tidak keberatan."

"Bisakah aku ke rumahmu?" tanya Bumi penuh harap.

"Untuk apa?" Remi mengerutkan kening. Bercerita lewat sambungan telepon juga bisa, untuk apa lagi mengajak bertemu.

"Akan lebih mudah menceritakan semuanya jika kita bertatap muka. Dan ada beberapa hal yang ingin aku tunjukkan padamu."

Remi ragu sejenak, jam memang masih menunjukkan pukul tujuh malam. Dia juga belum akan tidur, tetapi Remi sedikit enggan bertemu Bumi sekarang. Apa lagi ada seseorang yang menunggunya di bawah, atau lebih tepatnya menunggu Radi.

"Tidak bisa, ya?"

Mendengar suara Bumi yang tampak tak semangat dan mengetahui dirinya merasa iba, Remi ingin sekali membenturkan kepala ke tembok. "Datanglah. Aku akan menunggumu sampai pukul setengah delapan saja. Jika lewat dari itu dan kamu belum sampai, aku akan menolak  bertemu."

Tawa menyebalkan Bumi kembali terdengar. Padahal Remi benar-benar serius mengatakan hal ini.

"Keluarlah, aku sudah ada di depan rumahmu," kata Bumi disisa tawanya.

"Apa?!" Remi bangkit dan segera melangkah ke jendela. Dia membuka tirai dan segera menyipitkan mata saat melihat Mobil terparkir tidak jauh dari pagar rumahnya. "Tunggu saja di situ," kata Remi memijat pelipis sebelum matikan sambungan.

"Sayang, ayo turun," ajak Remi pada Radi yang kembali mewarnai gambarnya begitu mereka tiba di kamar. Padahal tujuan Radi ikut ke kamar bukan untuk mengurusi gambarnya, tetapi untuk mengambil potongan lengan dan kaki kapten Zoro yang dibawanya ke atas. "Om Piter sudah menunggu sejak tadi, loh."

"Ah." Radi segera bangkit, tampaknya anak itu lupa jika Jupiter telah datang untuk membantunya merakit kapten Zoro yang seminggu lalu dia dapatkan.

"Jangan lari-lari. Om Piter gak akan pergi sebelum kamu datang," kata Remi melihat anaknya yang sudah memegang hendel pintu. Radi mengangguk, namun begitu pintu terbuka dan dia mendengar suara tawa Jupiter dan Arkan, Radi kembali berlari. "Radi, hati-hati!" teriak Remi begitu anaknya menuruni tangga. Beruntung Jupiter yang mendengar teriakan Remi segera berlari naik dan menangkap Radi.

"Anak nakal. Kalau kamu jatuh Mami bisa sedih, loh," kata Jupiter setelah Radi berada dalam gendongannya.

"Maaf, Mami."

Remi bersedekap di atas tangga, menatap Radi dengan tajam. Sangat berbahaya berlarian di atas tangga, apalagi berlari saat hendak turun. Remi masih ingin marah, tetapi saat melihat mata berkaca Radi, dia menghela. "Ya sudah. Tapi jangan diulangi," kata Remi mulai melangkah turun. Di mengusap pipi Radi sesat sebelum turun lebih dahulu. Meninggalkan Radi yang sedang di nasihati Jupiter.

"Mami keluar sebentar. Kamu sama Om Piter langsung saja memulai," kata Remi terus melangkah keluar.

"Ngapain Kakak keluar?" tanya Arkan yang sejak tadi menemani Jupiter di ruang menonton. Di sekitarnya banyak potongan-potongan kapten Zoro yang ingin mereka rakit.

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now