Enam

37.9K 3.1K 48
                                    

Remi baru saja memasuki rumah saat melihat ayah dan ibunya berdiri di bawah tangga, berbicara dengan wajah serius di kelilingi ketiga adik lelakinya. Remi sedikit terkejut, pasalnya saat dia pergi tadi Ibu dan Ayahnya belum ada di rumah. Bahkan kabar yang diterima Remi kemarin malam, Ibu dan Ayahnya akan pulang besok. Tetapi sekarang kedua orang tuanya itu malah sudah ada di sini, bersama kedua adik lelakinya yang tinggal di wilayah lain.

"Ibu," kata Remi gugup. Dia menatap keluarganya dengan jantung berdebar.

Dia ingin mencari cermin untuk memeriksa wajah. Takut ada jejak kesedihan, atau jejak lain yang membuat keluarganya curiga.

Namun, setelah membeku beberapa saat, Remi  segera mendekat. Dia membuang semua rasa gugup dan takut. Jika tidak ingin keluarganya menaruh curiga, dia harus bersikap biasa saja.

Setelah berada di depan keluarganya, Remi segera menyalami Ayah dan Ibunya yang sudah seminggu berada di Medan, meninjau lahan sawit yang dijaga Raka. Setelah itu dia juga menyambut salam dan pelukan dari Raka dan Ardan, adik lelaki yang tinggal jauh darinya.

"Kamu kok makin item, Ka," katanya saat melihat Raka. Dari pada dia harus berdiri canggung, karena merasa bersalah di sana. Lebih baik Remi mengalihkan perhatiannya dengan menggoda Raka.

"Mancing terus kerjaan dia, Kak," kata Arkan, adik bungsunya yang masih berkuliah sembari tertawa. Tawa Arkan semakin keras saat Raka memberi tendangan lutut di bokongnya.

Remi menggeleng, Arkan dan Raka yang berbeda usia lima tahun memang selalu ribut. Apalagi Arkan sebagai anak bungsu itu sangat jahil.

"Sesekali aja nya aku  mancing. Selebihnya aku ikut jaga ladang. Banyak Babi dan monyet di sana." Raka membela diri dengan menyakinkan. Remi nyaris percaya andai Arda tidak lebih dulu membalas ucapannya.

"Bohong banget. Paling kamu cuma mantau aja," kata Arda yakin. "Aku udah lebih dulu terjun ke bidang ini, jadi aku tahu apa yang kamu lakukan."

Raka tertawa salah tingkah. Tugasnya memang hanya memantau dengan sesekali ikut membantu pekerja perkebunan. Jika dipikir-pikir dia memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan jalan ke sana-sini.

Menggeleng pelan, Remi memilih mendekat pada Ayah dan Ibunya. Dia kerap kali pusing jika mendengar pembahasan tentang lahan perkebunan mereka.

Setiap kali liburan sekolah dan kuliah, mereka semua memang di oper ke perkebunan. Disuruh belajar bekerja di sana. Namun, berbeda dengan Remi. Dia tidak pernah di suruh bekerja di perkebunan daerah mana pun.

Alasannya bukan karena dia anak perempuan sendiri, tetapi lebih ke ketiga adik lelakinya tidak mengijinkan. Mereka bilang dia sudah tahu arti kerja keras. Meski bukan kerja keras mencari uang, sejak kecil Remi memang sudah bekerja keras untuk mengurus adik-adiknya saat Ayah dan ibu sibuk ke sana sini mengurus lahan perkebunan mereka.

Setelah memikirkan semua itu, orang tuanya juga mengijinkan. Jadi, Remi hanya sesekali saja ikut datang ke perkebunan. Itu pun jika dia sedang bosan di ibu kota dan mau jalan-jalan, selebihnya Remi memilih bersenang-senang di sini saja. Akan tetapi sekarang sepertinya dia butuh ke perkebunan keluarganya, terserah mau dikirim ke wilayah mana pun Remi akan menerima dengan lapang dada.

"Kok Ibu pulang gak kabar-kabari aku sih, Bu. Kalau tadi aku pulang main malam atau malah gak pulang, gimana?" kata Remi begitu berada di sisi Ibunya.

"Ibu tinggal jewer kuping kamu."

Remi tertawa pelan. Dia merangkul lengan ibunya sebelum menatap ayahnya. Mengerutkan kening Remi mulai menatap Ibu dan Ayahnya lebih intens. "Ada apa ini, suanannya kok gak enak banget."

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now