Lima Belas

23.6K 1.9K 20
                                    

Tiara, istri Badai, Anak kedua Tata dan Surya mengerutkan kening bingung saat pekerja di sini memberi tahu jika kepala keluarga Ardana datang berkunjung. Dia diliputi kebingungan saat melangkah ke ruang tamu.

Bukannya kami yang akan berkunjung ke rumah mereka? Tetapi kenapa mereka yang datang ke sini lebih dulu?

Kening Tiara terus berkerut sampai tiba di ruang tamu, dan Tiara kian terkejut saat melihat bukan hanya kepala keluarga Ardana saja yang datang. Tetapi istri dan keempat anak mereka juga ikut serta.

"Halo, Tante, Om. Selamat pagi," kata Tiara menyapa Ina dan Danu dengan senyum lebar. Setelah itu dia menyapa ketiga anak lelaki mereka sebelum mendekati Remi. "Halo, Remi apa kabarnya? Enam tahun berlalu tapi kamu tetap gak berubah. Tetap cantik dan mengemaskan." Tiara tersenyum kian lebar, dia memeluk Remi tanpa menunggu jawaban.

Terkadang saat Remi bermain ke sini, dan kebetulan ada dia. Mereka sering mengobrol bersama.

"Saya baik, Kak. Kakak juga begitu, semakin usia bertambah semakin cantik saja," kata Remi membalas pelukan.

"Ah, kamu bisa aja." Tiara terkekeh sembari melepas pelukan, lalu dia menunduk dan menatap anak yang duduk di sofa dengan senyum manis. "Halo jagoan, siapa namanya?" tanya Tiara membungkuk untuk menyapa anak Remi dengan lebih baik.

Radi tersenyum malu. "Ladi, Kakak," kata Radi dengan tak yakin. Dia tidak tahu harus memanggil wanita  di hadapannya ini siapa. Jadi, dia memutuskan dengan cepat untuk mengikuti jejak ibunya.

Namun, saat kata 'ehh' terdengar dari seluruh penghuni ruang tamu, Radi menatap ibunya. Dia tidak tahu ada apa, tetapi kenapa semua orang menahan tawa.

"Aduhh, di panggil Kakak sama anak seimut dan semengemaskan kamu jadi senang, deh. Bikin lupa usia." 

Kini tawa semua orang benar-benar keluar, membuat Radi takut dan memilih menundukkan kepala sembari memegangi ujung baju ibunya erat.

"Bukan Kakak, Sayang. Tetapi Tante," kata Remi menyentuh kepala anaknya dan mengusap pelan. Radi nyaris tidak pernah memanggil Tante untuk seseorang.  Wanita dewasa yang ditemuinya kebanyakan guru TK atau guru Les yang mengharuskannya memanggil Miss atau Ibu. Tetangga mereka juga sudah paruh baya, jadi kebanyakan Radi memanggilnya Nenek dan Bibi.

"Maaf," kata Radi pelan.

"Duhh, kamu mengemaskan banget, sih." Tiara menatap Radi dengan  mata berbinar. "Dan kamu tidak perlu merasa bersalah, Sayang. Tante malah merasa senang kamu panggil Kakak."

Radi menatap wanita di hadapannya dengan kebingungan. Dia memiringkan kepala tak mengerti, sebelum menatap Remi lagi meminta pertolongan. Dia benar-benar tak paham dengan ucapan wanita di depannya. Kenapa bisa senang hanya karena di panggil, kakak? Salah satu teman lesnya pernah marah besar karena dipanggil Kakak.

Melihat Radi yang kebingungan, Remi tersenyum. "Tidak apa-apa, Sayang. jangan di pikirkan," kata Remi kembali duduk. Dia menatap ayah dan ibunya sembari mengangguk pelan. Sebaiknya mereka memulai sekarang juga. Tidak perlu menunda waktu lebih lama.

"Kapan ayah dan ibumu kembali?" tanya ibu Remi pelan. "Ada sesuatu yang mau Tante bicarakan."

"Belum tahu, Tante. Yang pasti sebelum makan siang." Tiara menatap jam dinding, sudah pukul sepuluh, mungkin sebentar lagi ibu, ayah dan yang lain pulang dari butik. "Ada apa sebenarnya Tante?" Sejak tadi dia sudah penasaran dengan kedatangan keluarga Remi.

"Ada sesuatu yang perlu kami bicarakan," kata Ina sembari menghela panjang.

Untuk beberapa detik mereka kembali terdiam saat seorang wanita datang bersama nampan di tangan. Setelah minuman diletakan di atas meja dan wanita itu menghilang, obrolan kembali terdengar.

"Apa masalah lamaran?" tanya Tiara dengan senyum senang. "Tante tenang saja, Ibu dan Ayah sudah sangat setuju. Bahkan Ibu sangat senang saat mengetahui Bumi melamar Remi. Ibu kan dari dulu pingin banget jadiin Remi mantunya, akhirnya kesampaian juga." Senyum lebar Tiara perlahan menghilang saat tidak mendapati respons yang diinginkan.

"Ada apa ini?" Melihat suasana yang tidak nyaman, Tiara benar-benar dibuat kebingungan. Apalagi saat melihat tamunya tampak begitu tertekan. 

"Apa di rumah ini hanya ada kamu saja?" tanya Om Danu yang langsung Tiara jawab berupa gelengan.

"Ada suami dan adik ipar saya."

"Tolong panggilkan  mereka sekarang."

“Mohon tunggu sebentar,” kata Tiara segera bangkit dan melangkah menjauhi ruangan.

Helaan napas panjang dari Arkan langsung terdengar begitu Tiara menghilang dari pandangan. Remi hanya terdiam dan memilih fokus menatap anaknya yang tengah memegang kapten Zoro di tangan dengan wajah bosan.

Remi hanya berdoa supaya anaknya bisa lebih sabar. Waktu mereka di sini tampaknya masih lama, dia agak khawatir anaknya akan bosan dan mulai mengajak pulang. Apalagi dia hanya ingat membawa satu mainan.

"Ibu gak pernah tahu kalau Kak Tata suka banget sama kamu," kata ibunya pelan. "Dia bahkan dari dulu berharap kamu jadi menantunya."

Remi memilih tetap terdiam, itu rahasianya. Mana mungkin juga dia memberi tahu sang ibu jika Tante Tata menyukai dan ingin menjadikannya menantu. Itu memalukan, bisa-bisa ibunya salah mengira dan berpikir dia menyukai Bumi juga.

"Benar-benar di luar dugaan."

Ibunya benar, ini semua di luar dugaan karena ibu dan ayah Bumi sudah merestui mereka.

"Maaf menunggu lama, suami dan adik iparku akan segera datang setelah membersihkan diri." Sejak pagi tadi keduanya sudah asyik olahraga. Disuruh berhenti pun mereka tetap bertahan.

"Tidak apa-apa. Karena kami yang merepotkan sekarang."

"Tidak merepotkan sama sekali." Tiara menggeleng sebelum kembali duduk di sisi Remi. "Silakan di minum," katanya lagi saat melihat semua gelas masih terisi penuh tanpa tersentuh sedikit pun.

Semua mengangguk, tetapi tidak ada yang menyentuh minuman. Semua orang tampak semakin gugup. Hanya Remi yang mengambil gelas di depannya untuk  sang anak yang tampak kehausan.

"Radi, di sini ada ruang bermain. Di sana banyak sekali mainan yang bisa kamu mainkan, kamu mau ke sana?" tanya Tiara sesaat setelah menyadari Radi yang tampak begitu kebosanan. "Remi kamu masih tahu kan ruangannya di mana? Kamu bawa saja dia ke sana."

Remi menatap Tiara, lalu menatap orang tuanya. Mereka berdua mengangguk.

"Pergilah. Tanpa kamu kami semua sudah cukup untuk menjelaskan," kata Ibunya dengan senyum menenangkan.

"Nanti akan ada anak-anak juga. Biasanya mereka main di sana, tetapi sekarang mereka lagi ikut berenang sama Jupiter," kata Tiara mengingat anak bungsunya yang memiliki usia sembilan tahun dan juga beberapa keponakannya yang lain yang tidak ada di rumah sejak selesai sarapan. Dia yakin setelah berkenalan dengan Radi, anak-anak itu bisa menjadi teman dan membatu mengawasinya bermain.

Mengangguk, Remi bangkit berdiri. "Ayo, Sayang. Kita bisa bermain dulu sebelum pulang," kata Remi mengulurkan tangan agar Radi menggandengnya. Mereka langsung pergi meninggalkan ruangan yang di penuhi keheningan.

Dengan gerakan pelan, Remi membuka pintu ruangan. Dia sedikit kaget saat melihat mainan di sini semakin banyak yang tempatnya juga semakin luas. Dulu sekali, saat dia masih kecil. Remi pernah bermain di sini bersama Bumi.

"Mami, banyak sekali mainannya," kata Radi menatap sekitar dengan mata berbinar.

Sepertinya semua jenis mainan ada di sini, ini benar-benar surga dunia bagi anak-anak.

"Mainlah sepuasnya, Ibu akan duduk di sana." Remi menunjuk sudut ruangan. Dia akan duduk di sana sembari menunggu Radi bermain. Ada beberapa permainan yang tidak cocok dimainkan anak berumur lima tahun, dan Remi perlu mengawasi Radi juga. Takut-takut dia terjatuh saat bermain.

Dari satu tempat ke tempat lain, Remi hanya tersenyum melihat Radi yang aktif berlarian. Terkadang anak itu berhenti, seperti sekarang. Anaknya sedang berguling-guling di kolam bola. Namun, hanya bertahan beberapa menit saja, sebelum mulai menjelajahi permainan lain. 

Kini Radi tertarik dan mulai menaiki beruang besar yang terbuat, entah dari apa. Remi juga tidak tahu. Yang pasti sangat empuk, dan bisa bermain lompat-lompatan di sana.

"Berhati-hatilah di sana," kata Remi sedikit berteriak. Jarak balon dan dirinya lumayan jauh, Remi takut anaknya terlalu aktif dan membuat masalah.

"Oke, Mami," kata Radi cepat sebelum mulai berlari menyusuri permainan. Lalu gerakkan terhenti saat melihat seseorang yang di kenalnya tengah berbaring di sana. "Om Bumi?" Radi berlari cepat, membuat Bumi yang tengah terlelap terjaga karena merasa guncangan.

Saat membuka mata, Bumi mengerjap saat melihat wajah Radi di atasnya. Menatapnya dengan polos.

"Om Bumi kenapa ada di sini?" tanya Radi memeringkat kepala dan duduk tegak.

"Seharunya Om yang tanya, kenapa Radi ada di sini?" kata Bumi penasaran. 

Kemarin malam ibunya memang memintanya bangun pagi agar bisa mencari baju, dan dia juga melakukannya. Tetapi begitu sampai di sana dan ibunya mulai sibuk sendiri, Bumi memutuskan pulang tanpa bilang-bilang. Karena tidak ingin keberadaannya di ketahui siapa pun, dia masuk ke sini dan terlelap dengan cepat. Rasa mengantuk karena semalaman tidak bisa tidur masih tersisa dalam dirinya.

Akan tetapi itu sudah tidak penting lagi sekarang, karena ada hal yang lebih penting yang perlu dia ketahui. Bumi benar-benar tidak menduga saat membuka mata ada Radi di depannya, bahkan dia sempat berpikir itu ilusi.

"Ladi datang sama Mami, sama Oma dan Opa. Om Laka, Om Alkan dan Om Aldan juga datang."

Bumi tersentak begitu nama Remi keluar dan dia lebih terkejut lagi saat semua keluarga Remi ada di rumahnya.

Kenapa mereka ada di sini? Jangan bilang Remi sudah memberi tahu semua kebenaran pada keluarganya.
Hal yang bagus memang, andai saja dia tidak terlanjur bilang pada keluarganya.

Sekarang Bumi benar-benar kebingungan, bagaimana dengan keluarganya? Terutama ibunya yang tampak begitu bahagia. Dia tidak mau membuat keluarganya kecewa, apalagi ibunya yang sudah tua.

Pikiran Bumi kacau, dia segera berdiri dan hendak keluar saat mendengar langkah kaki mendekat.

"Radi, kamu berbicara dengan siapa?" tanya Remi memasukkan kepala ke dalam. Tidak menemukan siapa pun, Remi kembali memanggil. Meski ukuran beruang cukup besar, dan Remi juga yakin dia akan tetap baik-baik saja jika dia naik, tetapi Remi tetap tidak melakukan hal itu. Dia memiliki sedikit trauma dengan benda seperti ini.

Dulu sekali dia dan Bumi pernah naik benda ini di sini. Bukan beruang, tetapi bebek dengan ukuran yang lebih kecil. Namun, saat sedang asyik bermain bebek itu meledak dengan keras, tidak lama kemudian benda itu langsung kehilangan udara dan menyusut. Untuk beberapa detik dia tertimpa beberapa bagian, membuatnya sulit bernafas. Remi sudah menangis saat Bumi menariknya dan mendorongnya keluar. Pertolongan Bumi memang menyelamatkan pernafasannya, tetapi dahinya harus rela jadi korban karena Bumi asal memilih tempat berlabuh. Pengalaman buruk yang membuat Remi tidak pernah lagi naik ke benda-benda seperti ini. 

"Radi. Kamu di mana?" Remi mengerutkan kening, dia kembali memanggil saat tidak juga ada sahutan.  Jangan bilang Radi kenapa-kenapa?"

"Mami aku di sini."

Mendengar suara Radi, Remi menghela lega. Tetapi dia langsung terkejut saat Radi datang bersama seseorang yang tidak ingin dilihatnya.

"Bumi," kata Remi pelan. "Aku tidak tahu kamu ada di sini."

Bumi tidak mengatakan apa-apa, Remi juga tidak menunggu jawaban.  Pertanyaannya murni karena keterkejutan.

"Apa kamu sudah memberi tahu semua kebenarannya?" tanya Bumi turun dan berdiri di hadapan Remi.

Remi mengangguk. "Bukannya kamu yang mengajarkan aku untuk tidak membiarkan masalah berlarut-larut," kata Remi pelan. Sejak mengenal Bumi puluhan tahun lalu, dia mulai mengikuti jejak lelaki itu. Tidak lagi membiarkan masalah berlarut-larut terlalu lama. "Lagi pula kita memang tidak memiliki hubungan apa-apa. Aku tidak mau terjebak bersamamu kebohongan dan rasa tidak tega."

"Kamu benar, aku juga tidak mau itu," kata Bumi mengangguk setuju. "Tapi Remi aku sudah terlanjur bilang pada keluargaku, dan ibuku juga begitu bahagia mendengar kamu akan menjadi istriku."

Remi memejamkan mata saat melihat mata Bumi yang tampak panik, lalu setelahnya menghela. Dia sudah tahu. Tiara sudah memberi tahu mereka beberapa menit lalu.

"Aku tahu. Tetapi kita tetap harus memberi tahu mereka kebenarannya. Tidak ada namanya kebohongan demi kebaikan. Bohong tetaplah berbohong. Berbohong sekali, akan membawamu ke banyak kebohongan lain." Remi tidak asal berbicara, mereka berdua sudah mengalaminya enam tahun lalu. "Jadi, meskipun kamu melarang. Aku akan tetap memberi tahu mereka semua kebenarannya."




Senin 31 Mei 2021


Enam Tahun KemudianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang