Empat Belas

22.1K 1.7K 40
                                    

Melihat Ibu dan Ayah sudah dibawa kedua adiknya, Remi menunduk dan menatap Radi dengan kasih sayang. "Mami boleh minta sesuatu?" kata Remi pelan. Sejak dia menangis pagi tadi, Radi tidak pernah mau menjauh, dia selalu berada di dekatnya dan terus mengawasi. Remi tentu saja senang, setidaknya ada yang selalu bersamanya di saat dia terkena masalah begini. Namun, sekarang dia tidak bisa. Ada pembicaraan serius yang akan dia lakukan bersama ayah dan ibunya, dan Radi tidak seharunya berada di sana.

"Mami mau minta apa? Ladi gak mau tinggalan Mami."

Remi memaksakan senyum. Belum dia meminta, anaknya sudah memberi peringatan. Tetapi tetap saja, dia tidak akan membawa Radi serta. "Mami cuma mau Radi main sebentar di kamar. Mami ada sedikit pekerjaan, kalau Mami udah selesai, Mami temani Radi bermain."

"Oke," kata Radi setelah terdiam beberapa saat. Selama mereka tinggal berdua,  terkadang lbunya memang meminta izin untuk mengurus pekerjaan penting yang harus diselesaikan dengan cepat. Kali ini pun pasti seperti itu. "Tapi Mami jangan sedih lagi, ya."

"Tentu saja, Sayang. Mami janji gak akan sedih lagi." Remi mengulurkan kelingkingnya, dia tersenyum saat Radi menyambut dengan ceria. "Sekarang kamu naik ke kamar, hati-hati jalannya, jangan lari-lari." Remi melambaikan tangan saat anaknya mulai menaiki tangga. 

Setelah Radi menjauh, Remi segera berbalik dan melangkah ke tempat Ibu dan ayahnya dibawa. Dia memasuki kamar dengan pelan dan berdiri di depan pintu saat mendengar sang Ibu tengah mengomeli Arkan karena membuat bajunya basah, padahal ia tengah sibuk.

"Semua salah paham, Bu. Bang Bumi gak melamar Kak Remi. Aku salah mendengar dan aku salah kasih berita!" teriak Arkan membuat hening suasana.

Remi memejamkan mata, akhirnya mereka berhasil memberi tahu Ibu dan ayahnya meskipun harus dengan cara seperti ini. Akhirnya dia bisa terbebas dari masalah. Perasaan Remi sudah mulai membaik saat dia mendengar suara terbata ibunya.

"Apa? Gak mungkin? Kamu sedang bercanda, kan?"

"Enggak, Bu. Ini serius. Bang Bumi gak pernah melamar Kak Remi. Aku salah, kita semua salam paham sama mereka berdua."

Melihat ibunya tampak begitu terpukul, Remi diam-diam mengepalkan tangan menahan kesedihan. Sudah lama ibunya berharap dia akan segera menikah dan hidup bahagia dengan pasangan. Tetapi Remi tidak bisa melakukan itu semua, dia takut jika memikirkan seseorang yang mendekatinya tidak bisa menerima Radi dengan sepenuh hati. Tetap bisa menyayanginya meski tahun sudah berganti.

Semalam ibu mengira dia telah dilamar oleh teman masa kecilnya. Teman yang dikenal ibu cukup baik, sehingga ibu langsung menerima dan terlihat sangat bahagia. Namun, sekarang ibunya sudah tahu akan kenyataan sebenarnya, sudah pasti hatinya akan sangat terluka.

"Gak mungkin, jadi ini semua cuma salah paham." 

Melihat ibunya menggeleng lemah, Remi perlahan mendekat. "Maaf, Bu. Tetapi ini lah kenyataan yang sebenarnya," kata Remi pelan sembari memeluk ibunya yang meneteskan air mata kesedihan.

Tidak ada yang berbicara untuk beberapa menit ke depan, semuanya dibisukan keheningan. Remi terus memeluk ibunya yang tengah menangis, usapan di punggung ibunya terus dia lakukan. Berharap sang ibu segera tenang agar kesehatannya tidak dikorbankan.

Ibunya sudah tua, Remi sangat takut hal-hal yang mengejutkan bisa membuat ibu shock dan kesehatannya menurun, tetapi beruntung semua itu tidak terjadi. Ibunya memang tampak begitu sedih, hatinya juga sudah pasti sangat sakit. Namun, hal yang paling disyukuri Remi karena ibunya masih tetap berdiri tegak.

Mereka semua terlalu fokus pada ibunya, sampai tidak menyadari ayahnya yang kewalahan menahan kemarahan dan kesedihan. Lalu saat sadar, ayahnya sudah nyaris jatuh ke lantai andai Raka tidak segera menahan.

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now