Tiga Belas

24.6K 2K 55
                                    

"Raka kamu dengar Kakak bicara, gak?!" Remi berteriak marah saat Raka terus mengabaikannya. "Maksud yang kamu katakan tadi apa? Keluarga Bumi akan datang untuk lamaran resmi?" tanya Remi mendorong bahu Raka agar menghadap ke arahnya. 

"Iya. Pagi tadi Bang Bumi hubungi Ayah, katanya dia bakal datang sama keluarganya nanti sore. Tante Tata juga tadi kelihatannya menghubungi Ibu."

"Kamu bercanda, kan?  Ini gak mungkin." Remi menggeleng.  Menolak percaya  dengan ucapan Raka. "Ini semua gak mungkin." Tidak. Dia tidak mau menikah dengan Bumi. Bahkan Remi tidak berencana menikah sampai dia menemukan lelaki yang benar-benar bisa menerimanya dan Radi dengan setulus hati. Tetapi, tidak untuk Bumi. Dia tidak akan pernah menikah dengan lelaki yang berhubungan darah dengan Radi. "Ini semua gak bisa dipercaya."

Remi terus menggeleng, lalu nyaris jatuh andai Raka tidak segera menahannya.

"Kakak kenapa?" tanya Raka panik. Dia semakin panik saat Remi menyandarkan kepala ke dadanya dan menangis di sana. “Loh, Kakak kenapa menangis?"

Raka mengelus kepala Remi. Dia bingung dan sangat penasaran dengan kelakuan Kakak perempuannya ini. Tetapi dia harus menahan karena Remi terlihat sangat terguncang.

"Mami. Mami kenapa menangis?" tanya Radi yang segera turun dari tempat duduk begitu mendengar isak tangis ibunya. "Mami kenapa?" Mata Radi mulai berkaca, dia selalu tidak tahan jika melihat ibunya menangis sedih seperti ini. Itulah kenapa dia selalu bertindak sebaik mungkin agar ibunya tidak pernah bersedih lagi. "Mami menangis gala-gala Om Laka jahat, ya?"

Semua pertanyaan yang dikeluarkan Radi tidak ada satu pun yang terjawab, jadi dia langsung mengambil kesimpulan jika Raka lah yang telah membuat ibunya bersedih. Apalagi ibunya masih baik-baik saja sebelum mendengar jawaban Raka.

"Om Laka jahat, Om Laka buat Mami menangis." Dengan tangan kecilnya, Radi mula memukul tubuh Raka berkali-kali. Air mata yang sudah nyaris keluar sejak tadi, kini sudah membanjiri pipi bocah itu.

"Bukan Om yang buat Mamimu menangis, Radi." Laka mengelus rambut keponakannya dengan sebelah tangan. Mendengar kakaknya terisak dalam pelukan, sudah cukup membuat Raka kelimpungan. Namun, kini dia dibuat semakin kebingungan dengan tangisan Radi.

Tidak tahu harus melakukan apa lagi, Raka memeluk Remi dan Radi secara bersamaan. Dia mencoba menenangkan keduanya dengan kepayahan.

"Udah, Kak. Nanti Radi semakin menangis," kata Raka pelan, dia tidak tahu lagi harus dengan cara apa membuat Radi dan Remi berhenti menangis. Mendengar tangisan mereka dengan sebab yang tak dia tahu, membuat matanya memerah. Kini Raka kesal pada diri sendiri karena dia juga jadi ingin ikut menangis.

"Semua ini salah paham, Ka. Arkan salah melihat, dan dia langsung buat kesimpulan sendiri. Bumi tidak pernah melamar Kakak," kata Remi sebelum menarik diri dari dekapan Raka. "Tidak pernah ada lamaran yang datang untuk Kakak. Apalagi lamaran dari Bumi." Remi mengusap air mata, sebelum menunduk dan memeluk anaknya dengan erat. Mendekap Radi selalu memberinya ketenangan.

"Apa?! Gak mungkin. Bang Bumi semalam bilang-" Raka menghentikan kalimatnya setelah mengingat kejadian malam tadi. Setelah kepergian kakaknya, Ibu dan Ayah terlalu bersuka cita, dan tidak membiarkan Bumi memberi penjelasan. Mereka semua langsung mengambil kesimpulan jika Bumi benar-benar melamar Remi, dan sialnya setelah semua itu Bumi juga tidak memberi penjelasan.

Bumi juga menyebalkan, lelaki itu malah mengangguk saja dan mengatakan 'iya' pada ayah dan ibunya yang memang berharap Remi segera menemukan teman hidupnya.

"Jadi semua itu benar-benar cuma salah paham aja?" Melihat kakaknya mengangguk, Raka mengumpat tanpa sadar. Dia mengepalkan tangan dan memukulnya di sandaran kursi.

Enam Tahun KemudianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang