Sebelas

29.4K 2.5K 100
                                    

Suara keributan orang berlari di kejauhan membuat Remi tersentak. Apalagi saat mendengar Arkan kembali berteriak dengan mengatakan hal bukan-bukan. Malu dan kesal,  Remi segera menarik tangannya, dia benar-benar merasa bodoh karena asal menjawab.

"Arkan ini bukan seperti yang kamu pikirkan," kata Remi cepat sembari berusaha keras mengumpulkan puing-puing kesadaran. Namun, orang tuanya berserta kedua adik lelakinya yang lain sudah datang. Mereka menyerbu bagaikan kawanan lebah, sangat berisik saat mengeluarkan berbagai macam pertanyaan.

"Benarkah? Benarkah kalian berdua akan menikah?" 

Remi segera menggeleng. "Ibu, Arkan salah paham, tadi kami hanya-" Remi menghentikan kalimatnya, dia melirik Bumi yang tengah di bantu ayahnya untuk berdiri sembari memberi beberapa pertanyaan dan wejangan masalah pernikahan.

Kepala Remi mendadak jadi berat, rasa sakit yang tidak diinginkan menyerbu datang. Remi ingin kembali menyangkal saat tangisan Radi yang di tinggal sendiri terdengar keluar. Remi bingung, dia ingin menenangkan Radi tapi keluarganya masih membutuhkan penjelasan.

Akan tetapi saat tangisan Radi semakin keras, Remi memutuskan memilih anaknya. "Aku dan Bumi gak ada hubungan apa-apa. Gak ada lamaran atau apa pun itu. Arkan salah paham saja, oke," kata Remi sebelum berlari meninggalkan ayah dan ibunya yang kini menyerbu Bumi dengan berbagai macam pertanyaan.

Meski tidak yakin mendengar keributan yang ada,  Remi tetap berharap ada yang mendengar ucapan terakhirnya. Dia berharap semua kesalahpahaman bodoh ini berakhir hari ini juga. 

Namun, sangat di sayangkan, tidak ada satu pun yang mendengar kalimat  Remi dengan jelas. Keluarganya sudah terlalu antusias karena ada lamaran yang datang pada Remi, yang entah kenapa sangat betah sendirian. Mereka semua benar-benar dibutakan kebahagiaan, sampai-sampai tidak menyadari lelaki yang diberi pertanyaan dan wejangan kebingungan. Apalagi saat Bumi menyadari Remi telah meninggalkannya sendiri.

"Bumi,  apa kamu benar-benar ingin menikahi anak, Om?" tanya ayah Remi sembari menatapnya tajam. Meski begitu Bumi yakin suara lelaki di depannya terdengar sangat cerah.

"Om, itu, begini. Sebenarnya tadi ada-" Bumi menghentikan kalimatnya saat lagi-lagi mendapat wejangan.

"Kalau kamu benar-benar serius ingin menikahi Remi, Tante sangat setuju. Remi sudah dewasa, kamu juga begitu. Lebih cepat malah lebih baik."

"Bukan begitu Tante, tapi Arkan salah-"

"Apalagi kalian sudah mengenal sejak kecil. Sudah tahu keburukan dan kejelakkan masing-masing."

Bumi membeku, tidak tahu harus mengatakan apa. Inginnya dia berteriak, 'Ini salah paham!' tetapi suara bahkan sangat sulit keluar.

"Selama kamu akan menjaga dan membahagiakan Remi, Om juga akan setuju. Apalagi Om tahu kamu orang baik, sangat cocok dengan anak kami yang dewasa dan sangat bisa diandalkan. Kalian akan menjadi pasangan yang serasi."

"Ah, itu. Iya," kata Bumi akhirnya. Kepalanya sudah mulai pusing saat mencari jalan keluar dari semua masalah ini.

"Kala Lo mau nikahi Kakak gue, Lo juga harus terima Radi sebagai anak kalian. Kakak gue gak bakal terima Lo kalau Lo ga terima anaknya."

"Iya," jawab Bumi tanpa saat mendengar ucapan Ardan. Dia memang menyukai, Radi tetapi tidak seharunya dia mengiyakan juga.

"Bang Bumi juga harus sayang sama Radi. Jangan terima sekarang, setelahnya nanti diabaikan. Bang Bumi benar-benar harus jaga mereka baik-baik."

"Tidak akan." Bumi lagi-lagi menjawab ucapan Raka tanpa sadar.  Seakan-akan dia tidak bisa mengontrol mulutnya untuk menangapi 

"Kak Remi itu kesayangan gue, Bang. Gue senang sih kalau Kak Remi nikah sama Lo. Senang gue bakal ada yang temani dan buat Kak Remi merasakan kebahagiaan dari orang lain selain dari keluarga dan Radi. Tapi tetap ya, Bang. Gue gak rela dan bakal marah kalau Lo cuma mau main-main sama Kak Remi."

Enam Tahun KemudianWhere stories live. Discover now