20 - Unfortunate Fortune

40 6 0
                                    

Bianca

Tebak apa perbedaannya teh hangat dan kepalaku? Jawabannya nggak ada. Keduanya sama-sama mengepul.

Terima kasih sebesar-besarnya kuucapkan pada kelas listening yang sangat amat sukses membuatku dan Dimas terkapar lemas di kantin dalam keadaan pusing bukan main. Saking campur aduknya rasa pusing, capek, marah, bingung, dan segenap emosi lain yang kami rasakan, dua gelas teh hangat dan seporsi ayam kremes di depan kami jadi tak lagi terlihat menggiurkan. Padahal, gak ada hal yang lebih baik dari makan-makan enak setelah kelas yang melelahkan, bukan?

"Gue pusiiiing, bangsat," Dimas memaki, nggak tau ke siapa. Tangannya secara frustrasi menggaruk-garuk kepala, sementara itu ekspresinya yang nggak berbentuk sudah lebih dari cukup untuk mengindikasikan kalau Dimas sedang berada dalam mood yang tidak baik-baik saja.

Maklum. Listening kami tadi itu ... kacau. Kalau pas UN SMP-SMA dulu, mungkin kita udah cukup pusing dengan aksen British yang dipakai dua-tiga pembicara dalam rekaman tersebut. Masalahnya, yang satu ini lebih ekstrim. Kami nggak lagi dipusingkan dengan aksen British, tapi juga aksen Chinese, India, Jepang, duh pokoknya banyak! Memang sih, sudah jadi risiko. Namanya juga kuliah bahasa inggris. But some things need times to get used to, you know. Aku yang gak pernah dengar orang India ngomong pakai bahasa Inggris jelas aja uring-uringan sepanjang kelas tadi. Jangankan mau paham apa yang dia bilang, sadar dia ngomong pakai bahasa Inggris aja nggak.

Belum lagi kalau di skenarionya mereka-mereka ini sedang grogi, panik, marah, atau segala emosi lainnya yang kira-kira bakal memengaruhi cara bicara mereka. Duh, Gusti.

"Gak taulah gue dapat berapa itu ntar. Cuma kedengeran orang-orang teriak doang tadi itu. Sumpah." Dimas menggeleng-geleng tak habis pikir, kemudian berusaha menyesap teh hangatnya dengan harapan bakal merasa mendingan.

Aku tersenyum kecut, soalnya kondisiku pun nggak jauh beda dari Dimas. Rekaman yang kami dengar tadi kebetulan bertema demo. Jadi kami disuruh dosen untuk mencatat hal-hal apa saja yang dibicarakan selama rekaman demo tadi, kira-kira konteksnya apa, penolakan apa yang terjadi, alasannya apa, dan lain-lainnya. Tapi ya namanya demo, setiap satu orang beropini pasti yang lain langsung bersorak menyetujui, atau pas pejabatnya ngomong, rakyatnya langsung bersorak mengejek.

Kadang aku bingung mau menyalahkan siapa. Si pembuat rekamannya yang kelewat niat dalam menciptakan suasana sesuai skenario, pengeras suara kampus yang kayaknya turut ambil andil dalam membuat kami kesusahan mendengar, atau malah dosennya.

"Kenapa yang tadi tuh mesti GE*, sih ... mau jadi apa IP gue. Mana masih tahun pertama," keluh Dimas lagi.

Aku nggak banyak merespon omongan Dimas. Cukup dalam hati saja mengiyakan keluhan-keluhannya yang sedikit banyak sama dengan keluhanku saat ini. Aku lebih memilih untuk fokus menyuapkan ayam kremes dan sesekali ikut minum es teh dalam rangka menyegarkan pikiran.

"Aduh, boro-boro nyelametin IP. Bisa lulus kelas listening aja sujud syukur gue kayaknya," imbuhnya, membuatku tergelak sejenak.

"Sabar, Dim. Bentar lagi akhir semester," pada akhirnya aku berusaha menenangkan, meski tampaknya nggak banyak membantu melihat dari betapa piasnya wajah Dimas.

"Justru karena udah deket akhir semester itu, Bi. Kesempatan gue buat nyelametin nilai makin tipis, sedangkan hidup-mati gue ditentuin sama IP." Dimas menghela napas keras-keras. "Semester-semester berikutnya kita regis matkul bareng ya? Biar gue sekelas sama lo terus."

Aku mengangguk cepat. "Janjian deh nanti mau ambil dosen siapa."

Setelahnya kami sama-sama diam, mungkin sudah terlalu capek juga untuk meneruskan omelan tentang kelas tadi. Aku sibuk dengan ayam kremesku, dan Dimas kelihatannya mulai sibuk menghitung digit lembaran uang di dompetnya.

FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang