17 - Blooming

66 12 2
                                    

Bianca

"Kemarin kamu pergi sama Brian, tah?" tanya Juan sambil membuka dua kancing teratas kemeja yang ia kenakan untuk ibadah minggu hari ini.

"Kok tau?"

"Story Instagram-mu, itu tempat rahasiane Brian, kan?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, setelahnya sunyi. Juan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas setir mobil, sedangkan aku duduk manis di kursi depan sambil bertanya-tanya kenapa mobil yang kami tumpangi ini belum juga keluar dari area parkir gereja.

Well, Om Ryan sakit dan Tante Rhea memutuskan untuk menjaga suaminya itu sendirian. Maka di sinilah kami sekarang, pukul sembilang pagi, baru saja selesai mengikuti ibadah jam tujuh di gereja yang lokasinya berseberangan dengan gedung utama kampus kami.

Juan memutar kunci, membuat mesin mobil itu menyala dalam satu getaran singkat. Tak lama setelahnya, kami sudah turun ke jalan raya yang padat kendaraan.

"Bi," panggilnya saat kami berhenti di depan lampu merah, "kamu ndak pingin cerita apa-apa ke Koko?"

"Soal apa?"

"Apa aja," jeda, "kamu sama Brian misale."

"Aku sama Brian ndak ada apa-apa, kok. Makane aku ndak cerita."

"Aneh, Bi. Nek gak ada apa-apa Brian ndak mungkin mau ngejak kamu ke tempat rahasiane. Bahkan Koko, Wage, sama Sandri yang kenal dah lama aja ndak pernah dikasih tau lokasine."

Air muka Juan mengeras sedangkan aku mulai merasa risih dengan obrolan kami. Aku nggak tau kemana pembicaraan ini mengarah, tapi aku nggak merasa nyaman. "Nek itu tanyake Kak Brian, to, aku ndak tau apa-apa, cuman diajak," jawabku sekenanya.

"Sorry," bisiknya lirih, mobil kembali melaju dengan kecepatan yang lebih lambat, "kalau boleh jujur, Koko rada risih."

"Risih kenapa e?"

"Kamu ndak sadar, tah, dulu kamu nek ada apa-apa sedikit aja meski ndak penting pasti laporan ke Koko, tapi sekarang kamu ndak pernah cerita apa-apa e ke Koko."

Kukulum bibirku, nggak tau harus menjawab apa. Kalau boleh jujur, ada banyak yang ingin kuceritakan pada Juan. Banyak banget, sampai aku nggak tau harus mulai dari mana.

Dan juga aku belum siap.

"Yah, itu urusanmu mbek Brian, sih. Koko jane ndak mau ngurusi, cuma khawatir aja, kamu kok tiba-tiba jadi tertutup gini."

Aku masih nggak menjawab. Malahan, aku membuang muka untuk menatap sisi kiri jalan yang nggak spesial sama sekali. Mataku seperti nggak mampu untuk menatap wajah Juan, karena aku sadar aku memang menutupi sesuatu.

"Bianca," panggilnya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih lembut namun juga terbesit nada khawatir di sana. "What happened after I moved out?"

Enggan menjawab, aku tetap diam, masih dengan mata terfokus pada pemandangan pinggir jalan. Namun apa yang selanjutnya diucapkan Juan sukses membuatku menoleh.

"I saw the scar on your hip."

Tanpa disadari, tangan kiriku sudah bersemayam di situ, di tempat luka itu berada. Wajahku memanas, rasanya nggak enak. I can't tell if I'm scared, or embarrassed, I can barely tell what I feel right now. Perasaanku bercampur aduk sementara Juan masih dengan tenang menyetir mobil yang membawa kami ke rumahnya.

"Koko gak maksa, kalau belum siap, Koko masih bisa nunggu. Tapi saat kamu siap nanti, kalau bisa, Koko mau tau semuanya. Dari awal."

Permintaannya itu terdengar seperti sebuah tuntutan, tapi aku nggak menolak. Malahan, sekarang aku bingung sendiri. Dari awal, katanya.

FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang