15 - Soto Pagi

71 13 1
                                    

Sandri

Salah satu kebiasaan gue saat mengalami sulit tidur adalah pergi keluar hanya berbekal jaket, dompet, dan motor ke minimarket. Biasanya angin malam yang dingin-dingin semliwir itu bakal sukses menimbulkan rasa kantuk, ditambah lagi ada rasa lelah tersendiri meskipun gue cuma sekedar mampir ke minimarket.

Rencana gue hancur lebur melihat eksistensi Bianca. Bukannya ngantuk, mata gue malah makin seger waktu melihatnya tersenyum menyapa gue dari balik rak berisi mie instan. Gue nggak mengira bakal ketemu Bianca di sini, apalagi sekarang jam dua pagi.

"Lo ngapain jam segini ada di sini?" tanya gue dari rak di baliknya.

"Laper aja," perempuan itu memasang cengiran lebar, "lo sendiri?"

"Insomnia. Jalan-jalan aja biar capek, siapa tau nanti ngantuk."

Bianca mengangguk-angguk. Selagi perempuan itu sibuk memilih-milih mie instan varian apa yang akan jadi cemilan subuhnya, gue hanya mengekor dari belakang. Sedikit banyak merasa senang karena Bianca sama sekali tidak terlihat risih dengan keberadaan gue.

Tangan mungilnya itu meraih salah satu mie instan merk Korea yang sempat viral, lalu membandingkannya dengan brand mie instan pedas lainnya yang jauh lebih murah. Tiba-tiba saja Bianca mengalihkan pandangannya ke gue, membuat gue terkejut saat kedua bola mata yang menggemaskan itu menatap lurus ke arah gue. "Lo gak beli apa-apa, Kak?"

"Gue nggak tau mau beli apa," gue berbohong, padahal dari awal masuk gue udah rencana buat beli razor, soalnya kumis tipis gue ini mulai mengganggu.

"Lo suka mie gak?" tanyanya, gue mengangguk, "Cobain ini, deh. Enak."

Gue menatap mie goreng instan cup dari brand Jepang yang ditunjukannya, lalu mengerucutkan bibir. "Packaging-nya gak eco friendly, gue jadi males. Apalagi isinya dikit, kalau makan mie instan satu itu gak cukup."

Dia terkekeh pelan, "Ya gimana, dia 'kan emang pasarnya buat dimakan di tempat, bukan mie instan yang dimasak di rumah, harus sedia piring sendiri. Padahal rasanya enak banget, sekali-kali lo beli deh kalau ada acara pergi-pergi."

"Tapi bener kata lo tadi, mie instan satu gak cukup, padahal kalau lebih dari itu gak sehat. Bikin dilema," lanjutnya, kali ini sambil melangkah ke kulkas dan melihat-lihat deretan yoghurt.

"Diem-diem makan lo banyak juga ya."

Bianca meringis, "Nggak juga, kalo makanan pedes, sih, iya, suka khilaf nambah terus, tapi porsi makan gue gak sebanyak itu, kok."

"Jangan keseringan makan pedes, kasian perut lo," gue mengambil salah satu yoghurt dari dalam kulkas, "nih, minum ini sebelum makan pedes. Gue sering liat artis-artis mukbang suka minum susu atau yoghurt sebelum makan yang pedes-pedes, gak tau ngaruhnya apa, sih."

"Thanks," jawabnya dengan seulas senyum kecil. Manis. "Lo beneran gak beli apa-apa, Kak? Gue mau bayar sekarang."

"Bayar aja, gue tungguin. Abis ini gue anter balik, ya? Jangan jalan kaki sendirian jam segini, bahaya, nanti tidur lo gak tenang."

Nggak tau apa yang lucu, tapi dia malah ketawa. "Makasih, tapi gue juga gak bakalan tidur kok abis ini."

"Kok gitu? Lo begadang nugas apa gimana?"

"Nggak, gue ada janji jam empat pagi sama Kak Brian."

"Brian?"

"Iya, tadinya janjian jam lima, sih, tapi katanya kurang pagi, takut telat."

Jantung gue jatuh saat Bianca mengangguk. Gue nggak ngerti. Cuma temen dan nggak ada apa-apa katanya, tapi temen macem apa yang ngajak lo jalan jam empat pagi? Apalagi Brian itu susah banget bangun pagi, dan seumur-umur gue temenan sama dia, gak pernah Brian ngajak pergi sepagi buta itu.

FinaleWhere stories live. Discover now