04 - A Ride Home

81 15 1
                                    

Bianca

"Kenapa namanya Wage?"

Pertanyaan singkat yang dilontarkan Dimas sukses membuat seisi recital hall hening. Aku memukul dahiku pelan, mempertanyakan kembali apakah tindakanku membawa Dimas ke hadapan seluruh anggota band, alias teman-teman Juan, merupakan hal yang benar.

Semua ini berawal dari kelas listening pagi ini. Kami duduk sesuai urutan NIM, dan aku mendapat bangku tepat di samping Dimas. Di pertengahan kelas, sepertinya dosen kami mengalami sedikit gangguan pencernaan, karena beliau kemudian izin pergi ke toilet untuk waktu yang cukup lama. Saat itulah aku menangkap Dimas, sedang mengetuk-ngetukkan meja.

Mungkin kelihatannya biasa, tapi ketukan Dimas sama sekali tidak biasa. Dari gerak-geriknya, aku tau kalau cowok ini sudah biasa memegang drum. Benar saja, ketika kutanya, Dimas dengan malu-malu menunjukkan video-video latihannya yang memenuhi hampir seluruh isi galeri ponselnya.

Sontak pikiranku langsung melayang pada Juan, yang kuingat sedang kesulitan mencari pengisi posisi drummer. Aku langsung menelepon Juan, mengabari harta karun yang kutemukan di kelas, dan siang ini juga Juan beserta anggota lainnya langsung meminjam kunci recital hall untuk mengadakan audisi mendadak dengan Dimas sebagai satu-satunya kandidat.

Dimas bahkan tidak tau kalau ia akan mengikuti sebuah 'audisi'. Cowok itu hanya iya-iya saja waktu aku menyuruhnya ikut ke recital hall tanpa protes. Gila. Gampang banget diculiknya.

Tapi, bukannya disuguhi talenta yang mengejutkan, kami malah dihadiahi pertanyaan tolol dari bibir Dimas seusai keempat kakak tingkat di hadapan kami ini memperkenalkan diri.

"Kenapa namanya Wage?"

Kak Wage yang duduk tepat di seberang Dimas itu terdiam, entah harus merespon bagaimana atas pertanyaan yang ... super aneh mengenai namanya. Meskipun aku sendiri penasaran, kenapa dari sekian banyak nama ia harus dinamai Wage, tapi aku tidak akan pernah melontarkan pertanyaan semacam itu.

Serius, aku nggak ngerti isi otak Dimas.

"Ya ... soalnya gue lahir hari Rabu Wage," jawab Kak Wage dengan ragu. Dimas hanya ber-oh sebagai jawaban, dan recital hall kembali sunyi.

Kami memang belum ada sepuluh menit di ruangan ini, dan sedari tadi kami baru memperkenalkan diri masing-masing—kecuali aku tentunya—sebelum para kakak tingkat ini benar-benar mengeksekusi Dimas.

Tapi omongan Dimas sepertinya sudah cukup menghancurkan mood karena setelahnya keempat kakak tingkat di hadapan kami ini saling berpandangan, seolah-olah mengirimkan sinyal yang sama, ini anak mau diapain?

"Ko, tes o langsung. Tadi aku dikasih liat video latian e, bagus, kok," bisikku pada Juan yang duduk di sampingku. Juan hanya mengangguk pelan, lalu memberi aba-aba pada Kak Sandri yang kemudian menyodorkan sepasang stick drum pada Dimas.

"Bentar-bentar," sela Dimas, "sebenernya gue ke sini ngapain sih, Bi?"

Aku meringis, lupa memberitau Juan dan teman-temannya kalau Dimas sama sekali tidak tau tujuannya berada di sini sekarang. "Jadi mereka ini anggota band, dan mereka lagi nyari drummer. Kebetulan tadi gue liat lo bisa main drum, makanya gue langsung bawa lo ke sini, siapa tau cocok."

"Oooh!" tiba-tiba saja Dimas beranjak dari bangkunya, lalu meraih stick drum dari tangan Kak Sandri dengan semangat. "Ngomong, dong, daritadi. Kan gue gak tau di sini harus ngapain."

Aku nggak ngerti. Dari penampilan luarnya, Dimas kelihatan kalem, tapi sekarang ia sama sekali tidak terlihat kalem. Dari ekspresinya, aku bisa bilang kalau Dimas terlihat sangat antusias dengan audisi dadakan hari ini. Cowok itu menempatkan diri di atas bangku, tepat di belakang set drum yang sudah dipersiapkan khusus untuknya. Ia beberapa kali mengetes drum sebelum akhirnya bertanya, "Main lagu apa, nih, bang?"

FinaleWhere stories live. Discover now