03 - Struggling

91 18 0
                                    

Bianca

Hari Jumat pagi, Tante Rhea mengajakku sarapan bersama di rumahnya berhubung aku dan Juan sedang memiliki waktu kosong. Pukul delapan, Juan menjemputku di depan kost dan dalam waktu kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di kediaman keluarga kecilnya.

"Bianca! Ih, Tante kangen banget!" Tante Rhea memelukku erat, disusul oleh Om Ryan yang hanya memberiku tepukan ringan di bahu sebagai sapaan.

"Ayo langsung makan, udah laper, kan, kamu?" seru Tante Rhea dengan antusias seraya menggiringku ke ruang makan.

Jangan tanya kenapa Tante Rhea sangat bersemangat dengan keberadaanku. Beliau sangat menginginkan anak perempuan, sayangnya, sewaktu umur Juan tiga tahun, rahim Tante Rhea terkena kista dan mustahil baginya untuk memiliki anak kedua.

Dulunya, kami tinggal berdampingan sebelum Om Ryan dipindah kemari oleh urusan pekerjaan. Sewaktu rumah kami masih dekat, Tante Rhea selalu memanjakanku seolah-olah anak sendiri. Untungnya, Juan sama sekali tidak protes melihat kasih sayang maminya malah dicurahkan ke sepupunya sendiri. Mungkin karena Juan pun dimanjakan oleh ibuku, yang diam-diam juga sangat mengharapkan anak laki-laki.

"Orangtuamu kabarnya gimana, Bi?" tanya Om Ryan disela-sela sarapan.

"Baik, Om. Sehat semua, kok."

"Sejak kita pindah ke sini kita belum sempat nengok lagi, maaf lho ya," sambung Tante Rhea dengan nada bersalah, "Tante seneng banget kamu masuk universitas yang sama kayak Juan terus rantau ke sini. Rasa kangen Tante jadi terobati, deh."

Aku meringis dan hendak mengucapkan terima kasih, tapi omonganku sudah lebih dulu terpotong oleh Om Ryan yang tiba-tiba menceletuk. "Ko, jangan hapean terus lho, kamu tuh. Lagi sarapan bareng-bareng gini, kok malah main hape."

"Ih, aku lagi nyari drummer ki lho, Pi," elak Juan tanpa melepas matanya dari ponsel, "kan Papi tau band-ku kemarin kena musibah."

"Oh iya, Bianca dah kamu kenalke ke temen-temen band-mu belum?" kali ini Tante Rhea yang bertanya.

"Baru sama Brian, sih, kalau Sandri sama Wage belum aku kenalin."

"Sandri?" aku mengernyit, "Kayaknya aku kenal, deh, sempet ketemu di perpus. Katanya dia temen e Koko."

Juan (akhirnya) mengangkat kepalanya dan meletakkan ponselnya di samping piring. "Bi, kamu nek diapa-apain sama mereka, ngomong lho ke Koko."

"Ih, Juan," Tante Rhea mendesis, "Bianca, kan, udah gede. Biarin, dong, kalau dia mau deket sama temen-temenmu, lagian Brian, Wage, sama Sandri tuh ganteng semua lho. Masa Bianca gak boleh, sih, ngedeketin?"

Aku meringis mendengar ucapan Tante Rhea, sementara di seberang Om Ryan terlihat setuju dengan statement istrinya karena beliau mengangguk-angguk mantap. Tapi, meskipun aku belum kenal siapa Wage yang sedari tadi mereka sebut-sebut itu, aku mau mengakui kalau Kak Sandri maupun Kak Brian memang good looking.

Juan menghela napas, "Iya, Mi, aku kan jaga-jaga. Lagian siapa di kampus yang bisa jagain Bianca nek gak aku?"

Let me tell you something. Juan memang sepupu terdekat yang aku punya. Meski begitu, bukan berarti kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, Juan selalu asyik pada dunianya, begitu pula denganku. Tapi Juan adalah sosok yang selalu siap sedia datang ketika aku butuh, semacam superhero one call away yang akan langsung datang ketika aku meneleponnya. Hal itu yang kusuka darinya, dia tidak pernah memberi afeksi berlebihan, tapi tau kapan aku benar-benar butuh untuk diprioritaskan. Kira-kira, begitulah love language Juan.

Terlepas dari sifatnya yang selalu mewanti-wanti diriku dan tak pernah berhenti untuk menawarkan bantuan—bahkan kadang memaksa, aku tau Juan hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk menjagaku.

FinaleWhere stories live. Discover now