11 - New Step

72 15 2
                                    

Brian

"Hah serius, Kak?"

"Iya!" gue mengangguk mantap, "Nih gue kasih tau ya, semester depan kan lo udah boleh pilih kelas sendiri, jangan ngambil kelas dia, deh. Apalagi kalo lo anaknya gak bisa belajar mandiri."

"Yaaah," bahu Bianca melorot, "tapi gue denger-denger tuh kelas grammar bakal diatur sesuai nilai terus, Kak, masa gue jelek-jelekin nilai biar gak dapet kelas dia?"

"Lah, emang dia udah pasti kena ngajar yang nilainya pada A?"

"Ya menurut lo aja, kalo cara ngajarnya begitu mana mungkin dimasukin ke kelas yang nilainya kurang," ia mengerucutkan bibirnya sambil sesekali melirik ruang kelas di depan kami, "eh dosen gue udah dateng. Gue duluan ya, Kak."

"Yo," jawab gue dengan santai. Ketika gue melihat ke sekeliling, gue baru sadar kalau barusan banget gue dan Bianca menjadi pusat perhatian di sekitar gazebo.

Jelas, gue tau apa yang ada di otak mereka. Pasti mereka pikir Bianca adalah target gue berikutnya. Bodolah, capek gue mikirinnya. Toh Bianca sendiri keliatan gak peduli. Lagipula, gue gak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sejak gosip itu beredar, gak ada orang yang mau deket-deket sama gue selain anggota SunDay. Makanya sekarang gue berbahagia karena setelah sekian lama jadi outcast akhirnya Semesta menghadirkan dua wajah baru: Bianca dan Dimas.

Mereka-mereka ini orang yang bikin gue sadar, sejahat-jahatnya dunia, ternyata masih ada secuil kecil dari planet Bumi yang berhati suci. For God sake, I'll keep those people close and never dissapoint them.

Ngomong-ngomong ... pada penasaran gak kenapa gue bisa digosipin kayak gitu? Ya, gak salah lagi, semuanya emang berasal dari seorang keparat bernama Junaidi Haditia.

Kapan-kapan aja, lah, ya ceritanya. Mood gue lagi bagus soalnya, hehe. Jangan dirusak.

"Bri, gak kelas lo?" sapa Wage yang gak tau dari mana tiba-tiba muncul bersama Sandri.

"Ntar jam satu, lo berdua?"

"Baru selesai, nih," kali ini Sandri, ia mengambil duduk di sisi gue sementara Wage tetap berdiri.

"Udah baikan lo sama Bianca?" celetuk Wage.

"Kok tau?"

"Keliatan anjir dari situ," Wage menggestur pada ruang kelas di lantai dua yang jendelanya mengarah tepat ke tempat kami duduk sekarang.

"Oh, iya gue udah baikan. Kenapa emang?"

"Baguslah, gemes gue liatnya lo berantem sama adek sepupu temen sendiri," Sandri tersenyum, tapi entah kenapa sorot matanya menampilkan ketidaksukaan.

"Eh ngomong-ngomong, si Dimas gimana itu?" gue bertanya, sengaja untuk mengalihkan topik, "Kita jadi nerima dia apa gimana?"

"Kalo secara skill gue suka banget, sih, itu anak cepet catch up­-nya sama kita, tapi kalo soal attitude ..." Wage menggantung kalimatnya di udara. Gue mengalihkan perhatian pada Sandri yang wajahnya nggak kalah masam.

"Gue masih rada suudzon, sih, takut aja itu anak tiba-tiba out of control pas udah mulai tenar."

Paham. Kami bertiga dan Juan memiliki ketakutan yang sama, jelas.

Gini, SunDay terbentuk atas keinginan kami untuk bermusik. Fakultas gue ini terdiri dari tiga program studi, Sastra Inggris, PBI*, dan Seni Musik, tapi nggak ada satupun member SunDay yang berstatus sebagai mahasiswa Seni Musik. Andaikan salah satu aja dari kami berempat sudah kadung jadi mahasiswa Seni Musik, rasanya SunDay gak akan terbentuk seperti sekarang ini. Singkatnya, kami berkumpul menjadi satu kesatuan sebuah band karena kami nggak terfasilitasi untuk bermusik dan menyuarakan suara kami.

FinaleWhere stories live. Discover now