06 - Your One Call Away Man

73 17 0
                                    

Juan

Sejak kecil, gue tinggal di rumah yang jaraknya cuma beberapa blok dari rumah Bianca, sampai akhirnya gue harus pindah waktu kelas tiga SMA dan sejak itu keluarga gue belum sempat bertemu lagi dengan keluarganya. Tiga tahun gak ketemu, dan Bianca banyak berubah.

Dia jadi lebih diem, gak banyak bersosialisasi bahkan di kampus. Sesekali gue ngeliat dia, abis kelas atau lagi nunggu dosen, selalu sendirian sementara temen-temennya ngumpul, sekalinya jalan ada temen paling cuma sama Dimas—itupun cuma setelah kelas listening dimana mereka emang sebangku. Meskipun masih ngerespon kalau diajak ngobrol, tetep aja aneh, Bianca yang gue kenal gak begini.

Bianca itu selalu banyak temennya, selalu ada yang ngajak ngobrol dan selalu ngajak ngobrol orang lain, jalan kemana dikit ada aja yang nyapa, selalu ada yang ngajak main, cowok-cowok yang deketin pun lebih banyak lagi. Khusus yang terakhir gak berubah, sih, karna anak angkatan gue sendiri banyak yang diem-diem muji Bianca di belakang. Plus, gini-gini gue notis ya kalo Brian sama Sandri sering ngeliatin Bianca. Cih.

Gue kira dia cuma puber, atau mungkin culture shock dengan kehidupan sosial di kampus yang jauh beda sama SMA, sampai akhirnya gue menemukan sesuatu yang janggal dari tubuh Bianca.

Ada bekas luka lumayan panjang di pinggul kirinya. Gue nggak sengaja liat waktu Bianca bantuin Mami naroh piring di laci atas abis sarapan, kausnya keangkat dan bekas luka itu terekspos.

Itu bukan tanda lahir, gue tau tanda lahir Bianca ada di ketiaknya. Kita berdua sama-sama anak tunggal. Nyokap Bianca pengen anak laki, Mami pengen anak perempuan, yaudah mereka bagi-bagi anak deh. Kedeketan gue dan Bianca udah selayaknya kakak adik kandung, dan gue juga waktu kecil sering mandi bareng dia. Even foto telanjangnya pas masih bayi ada di rumah gue sekarang.

Gue tau seluk beluk tubuhnya, letak bekas-bekas lukanya, tapi gue belum pernah liat luka yang satu itu.

Pas SMP dia pernah latihan motor, kecelakaan lumayan parah dan setelahnya dia jadi trauma bawa kendaraan ke jalan raya, tapi itu pun lukanya nggak di pinggul. Gue inget banget dia cuma dapet lecet besar di sepanjang lengan dan betis kiri.

Jadi, luka di pinggul itu darimana?

"Dah selesai bantu Mami?" gue bertanya saat Mami akhirnya minggat dari dapur.

Bianca menoleh, alisnya terangkat, "Udah, Ko, kenapa?"

"Sini, ke kamar. Ada sesuatu."

Tanpa banyak tanya, dia nurut dan langsung ngekor ke kamar gue. Bianca menempatkan dirinya di atas tepi kasur, sementara gue sedikit menjarak dengan duduk di kursi meja belajar.

"Kamu ndak mau cerita apa-apa?"

Bianca terdiam, bingung dengan pertanyan gue yang mendadak itu, tapi gue tau tubuhnya sedikit menegang.

"Maksud e, Ko?"

"Ya, kan, dah tiga tahun gak ketemu. Biasanya kamu ada apa-apa selalu cerita ke Koko."

"Ehm ... ndak ada apa-apa i, Ko,"

Bi, gue kenal lo dari orok, gue tau lo bohong sekarang.

"Masa tiga tahun ndak ada cerita apa-apa, sih," gue menodongnya, tapi Bianca cuma menggeleng.

"Biasa ae, Ko. Aku sekolah, main, yaudah."

"Pacaran ndak?"

Bianca mengulum bibirnya, terlihat ragu sebelum akhirnya berucap, "Sekali. Ndak lama, cuma tiga bulan."

Gue mengangguk paham. Firasat gue berkata kalau Bianca masih menyembunyikan sesuatu, tapi gue nggak mau memaksanya sekarang. Pelan-pelan aja, mungkin dia butuh waktu.

FinaleWhere stories live. Discover now