23 - Safe Haven

61 7 0
                                    

Brian

Sepuluh menit menjelang pukul sebelas malam. Setelah berpiring-piring sajian steak dan berbagai macam minuman hasil traktiran bokapnya Juan berhasil kami habiskan, juga obrolan ngalor-ngidul pasca manggung, kami memutuskan untuk pulang.

Tiap individu mulai sibuk dengan persiapannya masing-masing. Juan selaku satu-satunya yang bermobil malam ini, dibantu oleh sang ayah, mulai memasukkan peralatan musik yang kami bawa sendiri. Pada sudut lainnya, Dimas tampak ogah-ogahan meladeni Luna yang terus-terusan minta diantar pulang. Tak jauh dari kedua pasangan ajaib itu, Wage dan Sandri sedang bersiap-siap dengan kelengkapan berkendara mereka--memakai helm, jaket, sarung tangan, you name it.

Gue? Oh, gue sih lagi duduk diam aja di jok motor. Menunggu sampai rombongan gue ini siap berangkat. Hell nah, that's an excuse. Kenyataannya, gue justru lagi menunggui sosok terakhir yang sedang berdiri manis di ambang pintu. Iya, Bianca. Siapa lagi?

Gadis itu ditemani Tante Rhea, masih berusaha menolak ajakan beliau untuk menginap dalam setengah jam terakhir. Berbagai alasan ia lontarkan, mulai dari ada tugas sampai kelas pagi, mengingat esok Senin akan kembali menyingsing. Alasan-alasan yang sebenarnya tak berarti bagi Tante Rhea. Tetapi melihat kegigihan sang keponakan dalam menolak ajakannya, wanita paruh baya itu mengalah. Dan dengan senyum lega, Bianca mengantar Tante Rhea sampai ke mobil. Selama beberapa menit gadis itu kembali memastikan sepupu serta omnya bahwa ia tidak ingin menginap malam ini, mobil itu akhirnya melaju pergi. Disusul dengan lambaian tangan dari dalam serta ucapan pamit yang samar terdengar.

"Abang-abang sekalian, gue duluan ya," sahut Dimas yang sudah siap di atas motornya. Tentu saja dengan Luna menggelayut manja di belakangnya.

"Duluaaan, hati-hati kalian!" Luna mengimbuhkan, hanya beberapa saat keduanya meninggalkan kami.

"Jadi ..." gue mendengar Sandri berdeham. "Bianca pulang sama siapa?"

Yang ditanya tersentak, sebelum akhirnya terkekeh geli. "Kak, kos gue cuma berapa langkah dari sini lho?" katanya mengingatkan. Telunjuknya terangkat untuk menunjuk ke salah satu gang di seberang jalan, yang gue yakini Sandri ketahui sebagai jalan ke kos Bianca.

"Kalian duluan aja, ini gue nungguin kalian pada balik." ia menambahkan.

Sandri tersenyum kecut, tapi mau tak mau hanya bisa menurut. Bersamaan dengan Wage, ia menaiki motornya sendiri. Bercuap-cuap pamitan pada gue dan Bianca sebentar, barulah setelahnya pulang ke tujuan masing-masing.

"Nggak balik, Kak?" Bianca bertanya setelah tidak ada siapa-siapa lagi di area parkir tersebut selain gue dan dia. Dan alih-alih menjawab, gue justru mengangsurkannya sebuah helm.

Kedua alis Bianca bertaut, kebingungan. "Apaan? Kan udah gue bilang gue jalan kaki?"

"Siapa bilang gue ngajak pulang?" menjadi kalimat pertama yang gue lontarkan dalam perbincangan ini. "Jalan yuk?"

"Serius lo?" kedua mata Bianca membelalak. Lucu. "Ini udah jam sebelas ... lo mau bawa gue ke mana? Udah pada tutup kali, Kak?"

"Tapi kan jalanan nggak tutup," gue cepat-cepat menjawab. "Kita muter-muter aja. Motoran. Ke Semarang. Gimana?"

Pelototan mata Bianca makin menjadi. Sampai-sampai gue takut kalau tiba-tiba bola matanya menggelinding keluar. Sementara itu jauh di lubuk hati, gue merapalkan doa secara berulang. Please, jawab iya.

"Well, jalan nggak harus punya tujuan, kan?" gue beralasan. "Motoran tengah malem, cari udara seger yang sebenarnya nggak seger-seger amat. Kayak gitu juga jalan-jalan, kan?"

Tanpa disangka, Bianca justru tertawa. Singkat, tapi melegakan untuk didengar.

"Oke-oke," ia mengangguk. Kemudian tangannya terulur untuk mengambil helm yang gue tawarkan. "Tapi lo udah prepare banget, nih, sampe bawa 2 helm?"

FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang