22 - The Things You Do

55 6 1
                                    

Sandri

Menurut jadwal yang sudah dijanjikan, kurang dari lima belas menit lagi kami harus naik ke mini stage di sudut restoran. We need to get ready, yet Brian is still out there smoking his fourth or fifth bar of cigs.

Ini bukan pemandangan yang bagus untuk dilihat seperempat jam sebelum manggung. Apalagi mengingat relasi antara Brian dan rokok, sama sekali bukan pertanda bagus, kan?

Sejujurnya gue gak suka. Ingin hati menegur. Ayolah, kita sebentar lagi harus tampil. Apa dia nggak ada niatan sedikit pun buat menjaga suaranya? Dan rasanya baru kali ini gue melihat Brian ngerokok segitu banyaknya dalam kurun waktu dua jam. Terakhir kali dia begini, seinget gue, adalah setelah rumornya menyebar merata ke seantero fakultas.

Di sisi lain, gue juga gak bisa menyalahkan. Sewaktu Brian tiba-tiba menceritakan soal kedatangan Fio tempo hari dan apa yang cewek itu bilang soal Jun, gue langsung tau kalau selama beberapa hari ke depan Brian tidak akan berada dalam kondisi baik-baik saja. Makanya gue gak protes melihat dia kebanyakan diam selama latihan kemarin-kemarin, menghabiskan setengah bungkus rokok dalam satu hari, dan apapun yang dia perbuat malam ini.

Sometimes it sucks, ketika lo tau masalah sahabat lo sendiri tapi gak tau harus ngapain untuk menghibur; selain membiarkannya tenggelam dalam emosi sampai dia bisa bangkit sendiri. Satu-satunya yang bisa gue lakukan hanyalah memberikan Brian waktu untuk menenangkan dirinya sendiri, sambil harap-harap cemas semoga dia betulan bisa menenangkan diri sendiri.

"Brian gak diajak masuk?" celetuk Wage tanpa menatap gue. Kami berdua memandang sosok yang sama; figur tegap Brian yang masih sibuk merokok di luar restoran.

"Ajak sana, Ge."

Wage buru-buru menggeleng. "Anaknya lagi mode senggol bacok gitu, lo aja sana."

Gue belum sempat merespon ucapan Wage, karena setelahnya perhatian kami berdua teralihkan pada Bianca yang tiba-tiba berjalan melewati. Langkahnya menuju pintu keluar, sehingga gue refleks bertanya, "Mau ke mana, Bi?"

Melalui sudut mata bisa gue tangkap Wage mengerling tengil, yang nggak bertahan lama karena gue buru-buru mencubit pinggangnya.

"Mau jemput ortu gue, lagi jalan ke sini," alih-alih Bianca, justru Juan yang menjawab dengan dongkol. Matanya lurus menatap gue, tampaknya menyadari respon gue yang super cepat pada tiap gerak-gerik Bianca.

"Nah, pas banget!" sambut Wage riang, "Bi, minta tolong suruh Brian masuk, ya."

Permintaan Wage memicu semacam reaksi dalam tubuh gue, sehingga mulut gue secara otomatis terbuka untuk mengeluarkan kalimat larangan. Gak usah, gue aja yang manggil, hampir saja lolos kalau tidak tertahan oleh tepukan dua kali pada bahu gue. Menoleh dengan sewot, gue siap untuk memasang tampang sebal pada siapapun yang mengganggu kehendak gue itu. Namun emosi gue langsung meluruh menyadari kalau pelakunya justru LO kami malam ini.

"Mas, teman-temannya bisa naik untuk check sound dulu ya. Sekalian Masnya bisa ngobrol sama saya sebentar?" pintanya setengah memerintah dengan senyum tulus. Gue mengangguk kikuk, langsung menoleh pada Juan, Wage, dan Dimas. Menyuruh mereka untuk melakukan tugasnya hanya lewat tatapan dan gerakan kepala samar.

Mata gue kemudian beralih pada Bianca, yang masih berdiri seolah menunggu konfirmasi. Sepertinya dia sadar kalau gue tadi mau mengucapkan sesuatu padanya.

Gue menghela napas sepelan mungkin. Pada akhirnya gue cuma bisa pasrah.

"Tolong ya, Bi. Suruh Brian masuk, mau check sound," pinta gue, setengah hati.

Gue mengikuti mbak-mbak LO tadi ke pinggir panggung, sementara Juan, Wage, dan Dimas mengekor di belakang. Sesekali gue menoleh ke belakang, memandang punggung Bianca yang memosisikan diri tepat di sisi Brian.

FinaleWhere stories live. Discover now