09 - A Glimpse of Her Past

58 14 3
                                    

Sandri

Sepertinya gue harus berterima kasih pada ponsel gue yang ketinggalan di lobby gedung fakultas. Berkatnya gue jadi mampir ke gedung fakultas jam sepuluh malam dan bertemu Bianca.

Kali ini tanpa Brian. Yes.

Iya, gue seneng.

Bianca sedang memasukkan barang-barang entah apa ke dalam tote bag. Melihat dari keadaan di sekitarnya, gue berasumsi anak ini baru kelar bikin properti buat Welcoming Party, alias acara ospek fakultas kami yang akan diadakan dua hari satu malam di sebuah villa.

Ah, iya, dua minggu lagi Welcoming Party. Bukan cuma SunDay yang sibuk latihan buat tampil di closing WP nanti, maba juga mulai sibuk nyelesain properti WP yang selalu aneh-aneh. Denger-denger tahun ini tema mereka superhero Jagat Bumilangit apalah itu.

"Hai, Bi,"

Bianca terlihat gak siap dengan keberadaan gue yang tiba-tiba udah duduk di sampingnya, sementara maba lain memberikan tatapan aneh karena gue, yang notabene kating, tiba-tiba mampir selarut ini.

"Kenapa, Kak?"

"Nggak pa-pa, pengen duduk aja. Gak boleh?"

"Mmh, boleh kok, tapi gue udah pengen balik."

"Mau gue—"

"Gak usah, Kak, gue udah pesen ojol," potongnya cepat.

Gue tau Bianca bohong, soalnya daritadi dia gak ada megang HP. Mesen ojol darimana? Telepati?

"Gue mau nanya sesuatu," elak gue akhirnya, sengaja, biar dia bertahan sedikit lebih lama di sini. Rupanya taktik gue sukses, karena Bianca duduk manis menunggu pertanyaan yang selanjutnya gue lontarkan.

"Lo ada apa sama Brian?"

Tubuh Bianca menegang, seketika gue merasa bersalah karena bertanya demikian.

"Urusannya sama Kakak apa, ya?" ucapnya dengan tegas. Buset. Galak.

"Sorry, gue cuma—"

"Takut gue kenapa-napa?"

Sumpah, ini anak hobi banget motong ucapan orang. Tapi tebakannya gak salah, sih.

"Kalau pun gue kenapa-napa, emang ada ngaruhnya sama lo ya, Kak?"

Kalimat Bianca menohok gue dengan sangat keras. Terlebih lagi matanya yang dengan tajam menatap ke arah gue. Gue menyukai sepasang manik mata itu, entah sejak kapan, tapi bukan ini tatapan yang gue mau.

Gue cuma mau tatapan yang pernah Bianca kasih ke Brian waktu kami latihan. Bukan tatapan kasihan apalagi marah.

"Fine, gue minta maaf kalau lo tersinggung. I didn't mean to," gue beranjak dari sisinya, lebih baik pergi daripada memperburuk suasana.

"Pulang, Bi, udah malem."

Bianca terdiam. Sepertinya dia menangkap sekelebat kekecewaan di wajah gue karena setelahnya ekspresinya berubah, kayaknya merasa bersalah.

"Am I being too harsh?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut.

"Gak tau, I mean, I didn't know you that well, yet. Gue gak tau apa lo terlalu sensitif atau gimana, tapi gue gak tau kalo lo setertutup itu dan bener-bener gak suka ditanya-tanya."

Perempuan itu mengehela napas. Sorot matanya kosong. "Sorry."

Gue membungkuk, membuat kepala gue berada di level yang sama dengan wajah Bianca tanpa memedulikan bisikan-bisikan maba di sekeliling gue. Toh Bianca sendiri keliatannya gak peduli.

"Lo ada pengalaman gak enak ya di masa lalu?"

Tubuhnya kembali menegang saat mendengar pertanyaan gue, menandakan bahwa tebakan gue benar.

"Lo pernah terlalu terbuka dan dikhianati sama orang yang lo percaya?"

Bianca masih diam, nggak memberikan jawaban sama sekali.

"Hei, udah mau ditutup ini gerbang depan! Ayo pada beres-beres! Yang parkir di depan motornya dipindah dulu ke parkiran belakang!" suara menggelegar dari satpam yang bertugas malam ini sukses memecah keheningan di antara gue dan Bianca. Gue kembali meluruskan tubuh.

"Gue balik ya? Motor gue diparkir di depan. Lo juga balik, kayaknya driver ojol lo udah kelamaan nunggu."

"Eh? Oh, gue belom pesen, kok. Sorry, I lied."

"Iya, gue udah tau, kok. Mending lo pesen sekarang keburu malem."

Bianca mendongak. Wajahnya menampakkan ekspresi kaget campur lega karena gue nggak menawarinya pulang bareng lagi.

"Duluan ya—"

"Anu," gue mengurungkan niat untuk pergi ketika Bianca menarik ujung lengan jaket gue, "lebih tepatnya, gue pernah dikecewain sama orang yang paling perhatian ke gue, dan gue takut hal serupa bakal terjadi lagi."

Gue gak bisa gak tersenyum kala Bianca mengucapkan sederet kalimat itu. Gue merasa bangga karena akhirnya Bianca cukup percaya untuk membuka diri sedikit demi sedikit. Semoga aja ini bukan terakhir kalinya, tapi awal dari semuanya.

"Thanks for letting me know. Gue pulang ya, Bi. Take care."

<>

Bianca

Aku nggak tau. Aku nggak tau kenapa tiba-tiba aku membuka kartu di hadapan Kak Sandri malam ini. Nggak tau kenapa aku membeberkan alasan paling dasar mengapa seorang Bianca Prameswari menjadi pribadi yang tertutup, enggan bersosialisasi terlalu dalam dengan seseorang, dan ... menolak diperlakukan dengan baik.

Tanganku bersemayam di pinggul kiri. Menyelimuti bekas luka yang sepertinya tidak akan pernah hilang. Kalau bukan karena orangtua yang tabu terhadap tato, aku pasti sudah menutupinya dengan entah gambar apa, just to make the scar prettier, you know.

Aku nggak in denial kalau aku memiliki luka di situ dan sederet kisah kelam dibaliknya, aku hanya mau, setidaknya, mengingatnya dengan cara yang sedikit lebih indah.

"Lo deserve dihukum, Bi. Lo udah berbuat kesalahan dan lo sepantasnya dihukum!"

Hanya saja, bagaimana caranya mengindahkan memori terburuk dalam hidupmu?

Apalagi aku baru saja buka-bukaan pada Kak Sandri tentang sekelebat dari masa laluku. Bukannya melupakan atau mulai menerima, aku malah membuka luka lama. Buktinya malam ini aku termenung di depan cermin, menatapi luka itu sejak entah berapa jam yang lalu.

"Lo ngapain, sih, cerita-cerita ke mereka? Caper? Iya? Lo pikir mereka peduli? Nggak, Bi! Gak ada yang lebih peduli sama lo selain gue!" ujarnya sambil kembali menghujani pinggul kiriku dengan tinjuan. Tanpa peduli kalau luka bekas pukulannya beberapa hari lalu belum sembuh, tinjuannya itu tidak pernah berhenti.

Dan aku hanya menangis.

Aku menghela napas. Memori itu muncul tanpa permisi. Kalau kalian pikir sederet kalimat itu hanya ancaman biasa, kalian salah besar. Kalimat itulah yang membuatku enggan untuk menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk orangtuaku maupun Juan. Bahkan sekarang ini, ketika aku bisa menjamin kalau diriku nggak akan melihat sosoknya lagi, aku tetap takut. Ancamannya itu menghantuiku, sekarang dan selamanya.

Dan aku baru saja menceritakannya pada Kak Sandri. Seharusnya nggak begini.

Niko nggak tau, dan dia nggak akan tau. Namun tetap saja, aku ketakutan.

Tanpa kusadari, tubuhku mulai bergetar. Rasa sakit yang sering kurasakan di area luka itu seperti muncul lagi meskipun tidak ada siapapun yang menyentuhnya.

Andai saja aku bisa mencuci otak dan menghapus seluruh memoriku tentangnya.

Andai saja.

<> 

FinaleWhere stories live. Discover now