21 - She Came Back

38 6 0
                                    

Brian

"Kenapa gak kuliah?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir gue dibarengi dengan mendaratnya segelas americano. Mendengarnya, Fio hanya tersenyum tipis.

"Gak ada biaya," katanya. Ada sekelebat rasa sedih yang mengintip dari balik manik matanya, membuat gue sedikit banyak merasa bersalah sudah bertanya.

Gue akhirnya lebih memilih untuk diam dan memerhatikan interior kafe tempat Fio bekerja. Meski akhirnya pengalihan gue nggak bertahan lama karena Fio justru melanjutkan perbincangan.

"Diminum kopinya. Mumpung lagi sepi jadi gue bisa nemenin," katanya. Wajahnya bertumpu pada kedua tangan, matanya melengkung sempurna kala bibirnya menarik senyum. Tiba-tiba sekelebat kesedihan itu sudah lenyap begitu saja.

Mau gak mau, gue jadi tersenyum lega.

Di sela-sela kegiatan gue menyesap americano, gue menatap Fio lamat-lamat, memerhatikan figurnya yang menawan. Rambutnya yang bergelombang indah diikat rendah, bibirnya yang plump tampak menggoda meski tanpa polesan produk kecantikan, pipinya merona merah secara natural, menghiasi kulitnya yang seputih susu sebegitu indahnya.

Setiap kali melihat Fio, gue selalu berpikir: pantas aja Jun naksir sama dia. Kalo di SMA gue dulu, mungkin Fio udah masuk jajaran nominasi cewek tercantik seangkatan dengan kemungkinan menang yang besar.

"Enak?" ia bertanya, merujuk pada kopi yang gue seruput tanpa henti. Gue cuma menjawab dengan sebuah anggukan ringan.

"Ngomong-ngomong ... rasanya kuliah gimana, Bri?"

"Capek," jawab gue hampir seketika. "Tugas numpuk, stres, banyak pengeluaran."

"Tapi pasti enak kan ya, punya banyak temen-temen seumuran?" Fio terkekeh. "Gue kadang iri deh liat orang-orang yang kuliah. Berharap bisa kayak gitu juga. Ngabisin waktu sampe malem di kampus, dandan-dandan cantik terus ngumpul sama temen. Bukan malah banting tulang kerja jadi pelayan kafe begini."

"Pasti anak-anak kampus lo pada cantik-cantik ya, Bri?" tanyanya lagi.

"Ya ... ada yang cantik, ada yang biasa aja. Lo cari yang jelek juga nemu." Gue berdeham sesaat, lalu melanjutkan. "Tapi lo juga cantik kok."

"Hm?" Kedua mata Fio membulat, dan gue bisa melihat jelas bagaimana rona pipinya semakin menjalar.

"Ya lo juga cantik. Kalo lo masuk kampus gue, pasti ntar banyak yang naksir."

Fio malah tergelak, sebegitu serunya sampai ia hampir saja jatuh kalau saja tangannya nggak berpegangan pada meja. "Apaan sih ... gue kan nggak bilang kalo gue jelek atau butuh validasi kalo gue juga secantik anak-anak kuliahan."

Fio mengusap kelopak matanya beberapa kali, berusaha menghapus jejak air mata yang terbentuk akibat tawanya sendiri.

"Aduh ... Bri. Tapi makasih ya," katanya di sela-sela tawa yang tersisa. "Tapi gue gak peduli-peduli amat sih mau ada yang naksir gue atau nggak."

"Kenapa, tuh?"

"Ya ... ngapain? Orang gue sukanya sama lo?"

Kali ini giliran gue yang tertawa, sambil sesekali menyelipkan "apaan, sih" atau "bolehlah, bolehlah" sebagai apresiasi pada omongan Fio yang gue tanggapi sebagai candaan.

Betapa bodohnya gue untuk sadar kalau hari itu Fio sedang tidak bercanda.

<>

FinaleWhere stories live. Discover now