08 - Green-eyed

63 17 1
                                    

Bianca

Sejak apa yang terjadi di jembatan penyeberangan, Kak Brian benar-benar menghentikan segala interaksi kami. Contohnya sekarang ini. Kami gak sengaja ketemu di luar gedung dosen. Aku yang baru mau keluar, sedangkan dia baru mau masuk. Kak Brian lewat gitu aja, seolah-olah aku nggak ada.

Memang, sih, kami belum kenal lama, dan seharusnya aku pun nggak ngerasa sedih atau apa karena, yah, kami nggak bener-bener temenan.

Yaudahlah, toh lebih baik begini. Daripada kami terus-terusan ngobrol dan Kak Brian terus-terusan berbuat baik padaku. Yang ada aku makin gila.

Gila karena sejak kejadian itu aku gak bisa gak merasa takut setiap kali ada seseorang yang memperlakukanku dengan spesial. Bukannya aku kepedean, tapi aku dan Kak Brian memang gak ada hubungan apa-apa, dan rasanya aneh, kenapa dia mau susah-susah nyari aku cuma karena dia tau aku nangis?

Bahkan Dimas yang terang-terangan melihatku nangis gak ada niatan untuk mencariku sejauh itu. Dan kalaupun tindakan Kak Brian kemarin belum bisa dianggap spesial, I know that it could lead us to something special.

Aku gak mau. Aku gak siap.

"Bi!"

Dimas tiba-tiba muncul di hadapanku. Tangannya terulur dengan sebotol yoghurt, mengarah tepat ke dadaku. "Suka yoghurt gak? Kalo nggak gue beliin yang lain."

"Hah?"

"Ish, sebagai tanda makasih, Bianca."

"Buat?"

"Lo belom tau?" Dimas menghela napasnya, lalu membusungkan dada dengan bangga, "Jadi, gue belom keterima sebagai anggota SunDay, tapi karna mereka lagi butuh banget drummer, gue dikasih tampil pas Welcoming Party."

"Aw ... great," jawabku setengah hati. Aku turut senang untuknya, tentu saja, tapi aku sedang tidak berada di mood yang tepat untuk bersenang-senang.

Untungnya Dimas nggak sadar, karena ia cuma memasang cengiran bangga, masih sambil menyodorkan yoghurt tadi.

"Oh iya, gue suka yoghurt, kok. Makasih ya," aku mengambil botol tersebut dari tangan Dimas.

"Yaudah, gue duluan ya, ada kelas soalnya."

Aku mengangguk, membiarkan Dimas pergi dan melanjutkan perjalananku sendiri ke gerbang seraya memesan ojol.

Tindakanku terhenti saat melihat Kak Brian. Ia sedang berdiri di samping motornya, dan sepertinya Kak Brian juga melihat keberadaanku. Kami sama-sama diam di tempat, dengan tatapan yang terus beradu tanpa makna.

"Mbak Bianca?" seorang driver ojol memecah fokusku. Aku buru-buru mengangguk dan memakai helm yang diserahkannya, lalu naik ke atas motor driver tersebut.

Aku menyempatkan diri untuk menengok pada Kak Brian selagi driver tersebut menyalakan motornya.

Kak Brian masih disitu, mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Satu hal yang kutahu, aku merasa bersalah.

<>

Sandri

Setelah malam di mana gue memberikan nomor telepon pada Bianca, gue belum sempat bertemu dengannya lagi. Yah, beberapa kali liat sih dia sliweran di kampus, atau lagi ngobrol sama Dimas—temen dia beneran Dimas doang, ya?—tapi, gue belum sempat ngobrol lagi dengan anak itu.

Gue nggak berharap Bianca akan langsung nge-chat gue setelah nomor itu ada di tangannya, tapi seenggaknya gue harap kami berdua bisa berinteraksi lebih banyak. At least she should know that I'm here for her.

FinaleWhere stories live. Discover now