16 - Sunrise

53 13 0
                                    

Brian

Ketika gue melangkah keluar kost dengan dua helm dan kunci motor di antara gigi, mata gue disuguhi pemandangan Bianca dan Sandri yang tengah mengobrol santai di atas motornya. Meskipun tanpa pulasan make up tipis yang biasa dipakai saat ke kampus dan hanya berbalut kaus lengan panjang, celana training kebesaran, dan jaket tebal, Bianca tampak manis dan segar, sama sekali nggak kelihatan kayak orang yang bangun tidur.

Sekarang gue penasaran, udah berapa lama mereka ngobrol di situ, dan untuk apa? Padahal gue udah janjian bakal jemput Bianca.

"Hati-hati, Bri, gue duluan ya."

Hanya itu yang diucapkan Sandri waktu gue menghampiri mereka berdua. Gak lama setelahnya, Sandri langsung pergi meninggalkan gue dan Bianca berdua.

"Gue abis makan soto pagi sama Kak Sandri," papar Bianca, seolah-olah berhutang penjelasan mengenai apa yang dilakukannya bersama Sandri. Yah, meskipun gue juga penasaran dan pasti bakal nanya, sih. Agak kaget aja karena ternyata dia cerita duluan sebelum gue sempat nanya apa-apa.

"Pagi banget, dong? Lo gak tidur emang?"

Bianca terkekeh, "Ini, kan, Sabtu. Gue tidur jam dua belas siang juga gak ada yang peduli. Lagian gue gak sengaja ketemu di Indomaret gara-gara gue jajan mie instan pagi buta."

"Terus?" kedua alis gue terangkat, sedangkan Bianca ikutan bingung.

"Apanya terus?"

"Terus mie instannya mana?"

"Oh, udah gue taruh di kost. Tadi gue cuci muka sebentar, dia nungguin, katanya mau sekalian nganterin gue ke sini."

Lantas kedua alis gue bertautan, "Ngapain? Gue, kan, udah janji bakal jemput lo, Bi."

Bianca mengedikkan bahunya, "Nggak tau. Gue, sih, gak mau nolak rejeki, ya. Kenapa, Kak? Lo gak suka?"

Buru-buru gue menggeleng, bukannya gue gak suka, aneh aja. Sandri aneh, perasaan gue juga aneh, tapi gue nggak bisa mendeskripsikannya dengan jelas. Yang pasti, hati gue terusik sekarang.

Gue mengalihkan pandangan pada Bianca yang masih berdiri manis, menunggu aba-aba untuk berangkat tanpa banyak komentar.

"Yaudah, langsung aja, yuk. Keburu telat."

<>

Bianca

Kami melalui perjalanan yang lumayan lama melewati jalan desa yang masih sepi, ditemani udara dingin dan cahaya bulan yang masih terlihat jelas. Aku nggak tau kemana Kak Brian membawaku, mataku terlalu fokus dimanjakan oleh pemandangan sawah dan rumah-rumah desa sampai aku sama sekali tidak memikirkan kemana kami akan berhenti.

Jalan semakin mengecil, lama kelamaan kami melewati sebuah jalan kecil di tengah-tengah hutan yang sama sekali nggak mulus. Setelah tubuhku berkali-kali melompat-lompat di atas jok, motor berhenti tepat di depan sebuah jembatan.

Kalian pernah, kan, lewat jalan tol terus liat ada semacam jembatan penyeberangan yang kadang nggak tau jalan masuknya darimana?

Aku dan Kak Brian ada di jembatan itu sekarang.

Tanpa pikir panjang, Kak Brian membawa motornya ke atas jembatan, lalu duduk di atasnya dan menaruh pandangan ke arah jalan tol yang sepi. Sunyi bersemayam di antara kami, karena aku pun nggak mengucapkan barang satu kata pun, hanya bersandar di pagar pembatas, menunggu kapan matahari akan memunculkan dirinya. Kadang terdengar suara bising dari truk-truk yang lewat, tapi setelahnya kesunyian kembali mengambil alih.

"Lo tahan asep rokok gak?" tanyanya dengan sebatang puntung rokok terapit di antara kedua jarinya.

Rokok, ya?

FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang