05 - Addicted

84 17 1
                                    

Bianca

Alasanku merantau hanya satu: aku tidak mau lagi berlama-lama tinggal di kota asalku. Adalah, seseorang, yang aku tau masih berkeliaran di kota itu, dan yang jelas aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Tidak dengannya, maupun teman-teman satu circle-nya.

Karena keinginanku yang besar itu juga sekarang aku harus survive sebagai mahasiswa rantau di kota baru. Aku harus terbiasa apa-apa tersendiri setelah sembilan belas tahun tinggal bersama keluarga, dimasakin tiap hari, baju selalu dicuciin, dan sebagainya.

Aku nggak nyangka hidup sendiri bakal seberat ini, walau, yah ... gak bisa dibilang benar-benar sendiri sih, karena masih ada keluarga Juan yang siap sedia memberikan pertolongan kapan pun. Tapi tetap aja, jadi anak kost itu berat. Contohnya sekarang, jam sebelas siang, aku rebahan saking teparnya sehabis mencuci manual tumpukan baju kotorku selama seminggu.

Kenapa gak laundry? Ha, cukup ojol aja yang menguras uang bulananku, gak perlu lah laundry ikut-ikutan. Dan aku juga gak mau jadi keponakan gak tau diri yang setiap minggu mampir ke rumah Tante Rhea cuma buat numpang mesin cuci, meskipun beliau pasti dengan senang hati mengizinkan.

Aku mengerang saat perutku berbunyi, meraung-raung minta diisi karena aku memang belum makan sejak pagi. Ini juga salah satu struggle-ku sebagai anak kost, aku terlalu malas menyiapkan makanan dari nol meski itu untuk diriku sendiri, sedangkan makanan yang gampang ditemukan pagi-pagi biasanya cuma itu-itu aja. Tapi, mau dipaksakan nggak sarapan juga kadang tubuhku nggak kuat.

Ribet, kan? Dasar cewek.

Ketika perutku meraung lagi, aku langsung mengambil jaket dan memakai celana panjang, tak lupa mengantongi dompet dan pergi keluar untuk mencari makan. Untungnya, di dekat kostku ini ada beberapa kedai makanan, contohnya rumah makan ayam geprek yang sekarang menjadi tujuanku. Doain ya, semoga perutku gak kenapa-napa dalam keadaan kosong begini langsung dioles sambel.

"Kembaliannya seribu lima ratus ya, kak. Nanti pesanannya kami antar," ujar mbak-mbak kasir seraya menyodorkan kembalian padaku. Aku menerimanya dengan senang hati dan langsung menelusuri rumah makan kecil itu untuk mencari tempat duduk.

Di tengah-tengah pencarianku, mataku malah bertemu dengan sosok Dimas yang tengah lahap memakan ayam gepreknya. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri cowok itu.

"Oi, Dim, lagi makan?"

"Lagi berak," jawab Dimas dengan mulut penuh, "menurut lo aja."

Aku tidak menjawab, hanya memberinya satu cengiran kuda dan menarik bangku untuk duduk di depannya, "Bareng ya."

Beberapa menit setelahnya, pesananku datang, ayam geprek dengan sambal yang menggoda di atasnya. Aku mengangkat sendok, siap untuk menerkam sarapan sekaligus makan siangku itu, tapi Dimas sudah terlebih dulu mengalihkan perhatian dengan mencolek-colek lenganku.

"Temenin gue yuk, Bi?"

"Kemana?" alisku bertaut, bingung.

"Itu, gue kan belom fix keterima sama band yang kemarin, tuh, terus mereka pengen trial latian sama gue di studio siang ini. Temenin dong, Bi."

"Lah ngapain"

Dimas mendecak, "Kan itu temen-temen lo, gue mah gak kenal, iya-iya aja disuruh maen drum."

"Dih, gue juga gak kenal sama mereka!" elakku cepat, membuat Dimas kebingungan. "Gini-gini, si Juan itu kakak sepupu gue, sisanya mah gue juga baru kenal kemaren kali pas lo audisi."

Cowok di hadapanku itu mendengus, "Terus lo gak mau nemenin, nih?"

"Ngapain? Udah gak kenal, gue juga pasti dikacangin di sana."

FinaleWhere stories live. Discover now