18 - Take It Easy

54 8 0
                                    

Brian

Di bawah terik hangat mentari sore, gue terduduk di atas pembatas beton dekat gedung perpustakaan. Bersembunyi di bawah pohon rindang sambil memetik gitar Juan yang gue pinjam sejak dua jam yang lalu. Tangan gue dengan fasih memainkan kord secara acak, sementara penglihatan gue menerawang ke sekitar kampus.

Kampus tidak ramai, tapi kalau dibilang sepi juga nggak. Sesekali ada dosen yang melintas, atau sekumpulan mahasiswa yang seru membicarakan tugas, atau petugas kebersihan yang dengan sepenuh hati menyapu daun-daun kering.

Jari-jari gue berhenti bergerak kala di tengah keramaian itu, gue lihat sesosok familiar bergerak. Belum sempat gue menyapa, pandangan kami sudah lebih dulu bertemu, dan ia langsung mengganti arah untuk berjalan mendekati gue.

"Hai," sapanya lembut. Gue tersenyum.

"Sendiri aja? Abis dari mana?"

"Perpus," jawab Bianca dengan santai. Ia turut menaruh bokongnya di atas pembatas beton, hanya beberapa senti dari tempat gue duduk. "Lagi nunggu SunDay, Kak?"

"Hm? Nggak, kok. Emang lagi mau di sini aja. Sendirian."

Gue menaruh pandang pada Bianca, seraya kembali memetik gitar dengan pelan. Bianca balas menatap gue selama sesaat, sebelum akhirnya ia lebih memilih untuk mengedarkan pandangan ke pemandangan di depan.

"Ngapain?" ia bertanya, akhirnya.

"Lagi ... cari inspirasi."

"Gue lagi bikin lagu. SunDay's first ever original song," gue menambahkan dengan bangga, "tapi baru jadi liriknya doang. Gue belum kepikiran aransemennya mau gimana."

Mata kami kembali bertemu, kali ini ditemani sudut bibir Bianca yang ditarik tinggi-tinggi menjadi sebuah senyuman lebar.

"Keren banget ..." pujinya, tulus.

"Lo emang tipe orang yang nyari inspirasi di tengah keramaian ya, Kak?" ia bertanya setelahnya. "Kalo gue gak bisa tuh, mesti di tempat sepi baru otaknya bisa jalan."

Entah kenapa, gue tergelak pelan. "Nggak juga, kok."

"Terus?"

"Karena sesuai sama tema lagunya." Gue menaruh gitar ke atas pangkuan, lalu menangkat tangan di depan dada dengan hanya ibu jari dan telunjuk yang terangkat. Gue menerawang ke balik 'frame' film yang gue buat seadanya itu.

"Gue ngebayangin kalau di tengah-tengah sana, ada orang yang lagi marah-marah. Tapi dia bukan marah karena ngerasa marah, lebih ke ... tipikal rasa sedih yang dilampiasin dengan cara marah-marah."

Frame itu hancur kala gue akhirnya menurunkan tangan. "Dia teriak-teriak, di tengah keramaian, tapi nggak ada yang peduli."

"Karena?"

"Ya karena mereka gak peduli? Kan urusannya si orang yang teriak-teriak ini bukan sama mereka."

Bianca mencebik. "Nggak paham."

Gemas. Gue gak bisa gak tertawa pelan melihatnya. "Dia mau ngutarain perasaannya sama seseorang, Bi. Tapi gak bisa, jadi dia lampiasin itu dengan marah-marah di depan publik. Percuma juga sebenernya, karena toh publik sama nggak pedulinya."

FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang