07 - Rejection

60 16 0
                                    

Brian

Gue berjalan keluar kelas sambil menunduk. Bukan karena lantai gedung ini terlihat menarik, bukan juga nyari recehan jatoh, tapi karena gue gak mau ngeliat gimana orang-orang di sekitar gue menghindar ketika melihat siapa yang lewat.

Gue nggak suka gimana mereka menatap gue dengan tatapan geli sekaligus takut, gue nggak suka gimana mereka menjaga jarak seolah-olah gue orang yang terlalu najis untuk disentuh, dan gue benci fakta kalau sepanjang koridor, semua orang melakukan hal demikian—kecuali maba yang belum tau apa-apa. Belum.

Ketika mereka tau soal reputasi gue, 100% gue jamin mereka pasti akan memperlakukan gue dengan cara yang sama.

Jangan tanya kenapa kehidupan sosial seorang Briantino Dharma di kampus berakhir naas seperti ini. Akar dari segalanya cuma satu: Jun. Udah.

"Bang!"

Gue sedikit merasa lega saat mendengar suara itu. Kayaknya udah lama banget gue gak denger ada orang nyapa gue di tengah jalan begini, selain oleh anggota SunDay tentunya. Di hadapan gue, Dimas yang juga baru selesai kelas tengah jalan terburu-buru menghampiri gue.

Keep in mind, Dimas belum dinyatakan diterima menjadi anggota baru SunDay.

Dimas dan gue sekarang terlihat seperti dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, orang-orang menjaga jarak dari gue dengan tatapan takut sementara dari sisi lain, orang dari segala umur tengah berbisik-bisik dengan temannya tentang appearance Dimas yang eksotik itu. Sedangkan Dimas gak sadar kalau dia lagi dipuji-puji di belakang punggungnya sendiri.

Gue akui, Dimas itu ganteng.

"Bang, liat Bianca gak?"

Gue mengernyit, lalu menggeleng, "Nggak, tuh, gue baru kelar kelas. Kenapa?"

Bahu Dimas melorot, kecewa dengan jawaban yang gue beri. "Tadi, kan, gue sama dia kelas, terus sebelum pulang dia ngeliatin kertas kecil gitu gak tau isinya apaan. Gue diemin, kan, pas gue intip taunya dia nangis, Bang. Terus kelar kelas dia langsung lari keluar, gue mau ngejar tapi keburu ditahan dosen disuruh ngumpulin print out anak sekelas."

Hati gue ngilu, entah karena apa. Sementara itu tangan gue langsung meraih ponsel, "Lapor Juan kali ya?"

"Kalo masalah keluarga gimana, Bang?"

Iya juga.

"Lo telpon dia coba," titah gue pada Dimas, cowok itu malah menggeleng, "Gak punya nomernya."

Sialan, gue juga gak punya.

"Gue ... tau alamat kostnya sih, tapi masa gue langsung ke sana? Gue aja gak tau kamarnya yang mana."

Dimas kayaknya mau ngomong sesuatu, tapi kepotong oleh nada dering ponselnya sendiri, "Halo? Iya, Bun? Iya, ini Dimas mau langsung pulang, iya nggak ngebut. Iya, Bunda, he'eh."

"Nyokap?"

"Iya, Bang, gue duluan ya. Kalo ketemu Bianca kabarin, khawatir gue."

Gue hanya mengangguk saat Dimas berlari pergi meninggalkan gue dengan perasaan gak enak.

<>

Bianca terlihat kaget waktu gue nyamperin dia di jembatan penyeberangan.

Gue udah nyari dia daritadi, keliling kampus dari gedung fakultas sampai kampus utama, keliling lagi ke daerah kostnya. Gak ketemu dan gue akhirnya nyerah, gak taunya dia di sini, bengong ngeliatin matahari tenggelam dari jembatan penyeberangan di dekat kampus kami. Untung aja gue liat pas jalan pulang.

FinaleWhere stories live. Discover now