15 ▪️ Lucid Dream

43.9K 6.3K 84
                                    

' Indah tidak hanya dipandang, indah tidak hanya di dengar, indah tidak hanya diraba. Dirasakan pun akan sama indahnya. '

✒.Happy reading!

"Gak mau ketemu Lentera dulu, Mas?"

Langkah Lentera di depan pintu kamarnya mendadak terhenti saat mendengar suara bundanya barusan. Dari lantai dua rumahnya, Lentera bisa melihat dengan jelas jika bundanya sedang berhadapan dengan sosok pria dengan jas mahal melekat di tubuhnya. Lentera tidak tahu pria itu siapa, hanya punggung tegapnya saja yang Lentera bisa lihat.

"Mungkin lain kali, anak kita sedang tidur 'kan? Aku tidak mau mengganggunya."

Lentera mengangkat alis. Anak kita katanya? Lentera tidak terlalu bodoh, gadis itu tahu maksudnya, ia tahu jika anak yang pria itu maksud adalah Lentera sendiri. Apakah mungkin itu sang ayah yang tak pernah bundanya bahas? Ayahnya yang sibuk dan ... Lentera mengerjap. Tunggu sebentar, ini terasa familier.

Ini mimpi.

Lentera tahu ini hanya sebuah mimpi berulang. Sudah beberapa tahun Lentera mengalami mimpi yang sama, suara bundanya dan pria itu tercetak jelas dalam ingatan. Lantas Lentera menatap sekeliling yang terasa aneh dan asing. Ini benar-benar mimpinya.

Percakapan yang dilakukan oleh bundanya dan pria itu masih sama. Terus menerus seperti itu sampai Lentera hanya tersenyum tipis. Dalam mimpi-mimpi sebelumnya, Lentera memang hanya bisa diam karena tak tahu jika ini hanyalah alam bawah sadarnya. Namun saat ini, Lentera memantapkan hati dan langsung melangkah menuruni tangga. Hanya saja, tangga itu berubah memanjang dan terus memanjang, apalagi saat Lentera berlari, ia menemukan bundanya dan pria itu semakin menjauh.

Ini tidak boleh terjadi, Lentera harus melihat ayahnya. Setidaknya wajah ayahnya yang benar-benar Lentera lupakan dari pria itu tak pernah pulang.

"AYAH!" Lentera berteriak saat tangga itu semakin memanjang tak berhenti. Teriakannya itu berhasil membuat bundanya menoleh, pria di hadapannya juga ikut menoleh, hanya saja tepat saat Lentera bersiap mengingat wajah pria itu, bunyi nyaring alarm yang tepat di samping telinga membuat Lentera terpejam kuat.

Lentera terbangun dari mimpinya dengan dering alarm yang menggema. Gadis itu menekan tombol untuk menghentikan bunyi alarmnya dan mengusap keringatnya yang mengalir di kening. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Ada apa lo nelepon gue?"

Nada cuek tak acuh itu membuat Lentera menipiskan bibirnya. Kemarin ia dan Wihel terlibat cekcok karena Lentera yang berusaha mempertahankan Kael sementara Wihel menentang. Jadinya mereka tak saling menghubungi semenjak kejadian kemarin. Tetapi kali ini, Lentera membutuhkan sahabatnya. Satu-satunya yang ia punya.

"Wi ... gue mimpi yang sama lagi, Wi. Gue gak berhasil, gue capek."

Wihel di seberang telepon tidak menyahut, keduanya sama-sama tak berbicara walaupun sambungan telepon masih terhubung. Mereka kalut dengan pikiran masing-masing.

🦇

"Wow, cepet juga baikannya."

Wihel menegang saat Micro terkekeh di hadapannya, terkejut melihat lelaki impian semua orang berdiri menjulang di ambang pintu. Niat Wihel ke kelas Z-1 dengan segenap keberaniannya adalah menemui Lentera, dan disambut lelaki tiang penyuka biologi itu. Micro tahu kejadian di mana Wihel dan Lentera bertengkar kemarin, penyebabnya tentu saja karena Kael si bad boy jadi-jadian itu.

"Dia ada 'kan?" tanya Wihel dengan alis terangkat untuk memastikan. "Kalian gak mutilasi sahabat gue?"

Mendengarnya, Micro tertawa renyah. Lantas lelaki itu memberi jalan pada Wihel dan menyuruhnya masuk ke dalam kelas begitu Zilos mengangguki.

ZWARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang