22 ▪️ 'Bagian dari Sakitnya'

40.9K 6.2K 191
                                    

' Menerima bukanlah hal mudah. Menerima, bukanlah hal setengah. Menerima perlu tekad yang megah '

✒.Happy reading!

"SIALAN!!" Lentera menjambak rambutnya sendiri dengan keras, merosot jatuh ke tanah dengan punggung bersandar pada pohon. Gadis itu terus bergumam, memaki sosok yang selalu ia tunggu selama ini.

Ayahnya yang tak pernah Lentera temui di rumah. Bahkan, Hera pun tak pernah membahasnya hingga Lentera bosan bertanya, sampai menganggap jika ayahnya memang pergi entah ke mana dan tak akan kembali. Demi menjaga perasaan Hera, Lentera tak lagi mengungkit-ngungkit atau sekadar berusaha melihat fotonya. Karena ayahnya memang tidak pernah meninggalkan jejak di rumah selama Lentera ada.

Kaki Lentera menendang-nendang udara kosong, isakannya mengencang tak mempedulikan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalan tepat di hadapannya, Lentera tidak mau memikirkan itu saat hatinya berdenyut sakit. Perasaannya kecewa.

Kenapa ayahnya tega melakukan hal seperti ini? Bagaimana kehidupan ayahnya? Bagaimana pria itu melakukan semua hal yang tak pernah bisa Lentera bayangkan?

Lentera menunduk, menenggelamkan wajah pada kedua lutut yang dipeluk. Lentera ingin berhenti menangis, ia ingin segera menghampiri Hera dan meminta penjelasan mengenai ayahnya, namun tak mampu. Lentera masih terisak, bahkan saat seseorang datang dan berlutut di hadapan Lentera.

"Maaf, Lentera."

Lentera mengangkat kepalanya, kini pandangannya tertuju pada seorang lelaki dengan kemeja biru muda. Sastra.

"Maaf harus jadi bagian dari sakitnya." Sastra tersenyum. Bukan senyuman lembut, senyum itu adalah senyum pedih yang justru membuat Lentera kembali mengalirkan air mata.

Kedua tangan Sastra terulur, mengelus dua pipi Lentera yang basah. "Maaf, kami minta maaf Lentera."

Kepala Lentera menggeleng, tubuhnya kini ditarik maju, masuk ke dalam dekapan Sastra, menangis pada sebelah pundaknya yang terbuka. Bukan Sastra yang harusnya meminta maaf, bukan Sastra yang salah. Lentera tahu, bukan mereka semua yang harus merasa bersalah atas apa yang menjadi hubungan takdir mereka satu sama lain.

Bukankah ini ... bukankah ini salah ayah mereka semua? Ayah mereka yang sama.

"Jangan benci kami, Lentera. Kami datang bukan buat merusak semua hal yang jadi harapan lo. Kami datang dengan tujuan yang sama, buat mengambil dia kembali. Buat dapat jawaban dari semua pertanyaannya." Sastra berkata lembut, terus memberikan elusan halusnya pada kepala Lentera. "Kita itu satu. Punya satu sama lain buat melangkah. Saat lo butuh, ada kami yang bersedia. Saat lo takut, ada kami yang mau jadi pelindung."

Lentera tak bisa berkata apa-apa, denyut di hatinya kian bertambah saat Sastra mengatakan semua itu dengan ketenangan yang dalam, seolah-olah membawa rasa sakit Lentera untuk ia bawa pergi menjauh. Lentera tak sanggup, ia hanya terisak, tak tahu harus bagaimana.

Kini, Lentera sudah mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa Zwart membawanya ke dalam lingkup mereka yang jelas sekali tak bisa ditembus.

Semua yang mereka sembunyikan, adalah semua hal gelap yang mereka miliki.

Masih terdiam, Lentera merasakan seseorang duduk di sampingnya. Begitu ia menoleh, Archeology ada di sana, tersenyum teduh.

"Kayak yang gue bilang, lo berhak tahu tentang lo sendiri."

Perlahan-lahan kepala Lentera mengangguk. Ia melepaskan pelukannya dan menatap ke bawah, pada tanah yang ia pijak.  "Sejak kapan kalian tahu kalau gue bagian dari kalian?" tanyanya.

"Ingat waktu lo jatuh dan kuah bakso sama minuman lo tumpah ke arah kami?" Sastra balik bertanya, membuat Lentera meringis kemudian mengangguk ragu. "Waktu itu Zilos nyuruh buat cari identitas lo, tebakan gue sih, dia mau ngasih pelajaran buat lo karena udah numpahin itu, lo malah kabur, nggak minta maaf sama sekali. Tapi setelah Alkena kasih tahu kalau lo bagian dari Delovis, Zilos putar arus dan yah, setelah itu lo dipindahin ke kelas kami."

Sekarang, Lentera tidak perlu bertanya-tanya lagi mengapa dirinya harus ikut terseret ke dalam arus kehidupan Zwart. Lentera sudah menemukan jawaban yang sebenarnya malam ini. Mereka semua, dipertemukan karena memiliki hubungan satu darah.

"Ayah ngecewain gue." Lentera bergumam, tatapannya masih betah pada hal yang ia injak. "Tapi, sekarang gimana perasaan Bunda? Pasti lebih kecewa dibanding gue."

Sastra dan Archeology saling pandang sejenak, keduanya diam tak menanggapi membuat suasana hanya diselimuti kebisingan kendaraan yang berlalu lalang.

🦇

"Tante ada di kamar, katanya besok pagi aja temuin dia kalau lo mau ngobrol." North merangkul Lentera, menarik tubuh gadis itu agar mendekat ke arahnya kemudian ia mengusap kepalanya dengan lembut. "Lo nggak papa? Mau sesuatu?"

Lentera menatap North sejenak, lelaki itu perlakuannya jadi sangat lembut, bahkan sangat perhatian layaknya seorang kakak. Lentera hanya menggeleng dan menyandarkan kepalanya pada North walaupun mereka masih berdiri di ruang tamu.

"Ya udah, sekarang mandi dulu. Kalau lapar, ada makanan di kulkas tadi gue beli, lo panasin aja di microwave," ucap North lagi dan menarik Lentera ke arah kamarnya.

Tidak ada alasan untuk menolak, Lentera mengikuti North. Ia sempat memandang anggota Zwart yang lain, mereka masih mendudukkan diri di kursi rumahnya, memandangnya dengan tatapan bermacam-macam. Namun Lentera mengacuhkannya, tubuhnya terasa remuk dan ia ingin segera terlelap.

North membukakan pintu kamar Lentera, mendorong masuk gadis itu. "Bawa handuk, terus mandi dulu. Lo bisa tidur kalau sekiranya lo gak lapar," ucapnya dan tersenyum tipis.

Mendapat perlakuan yang jarang sekali Lentera dapatkan, gadis itu sedikit mengembangkan senyumannya. Ia melihat North hendak berbalik pergi, namun Lentera segera mencegahnya dengan menarik lengan lelaki itu.

"Ada apa?" tanya North dengan sebelah alis terangkat.

Lentera menggigit bibir bagian bawahnya gugup, pelan-pelan ia mengangkat pandangan untuk menatap North. "Ini bukan mimpi 'kan?"

North terkekeh kecil, mencubit hidung Lentera. "Bukan, gue ini abang lo," ucapnya dengan sedikit penekanan. "Sana istirahat, kita obrolin ini besok aja oke? Lo capek, harus tidur dulu biar gak error."

Dengkusan terdengar dari mulut Lentera, namun gadis itu kembali mengembangkan senyuman dan masuk ke dalam kamar. Menarik napasnya sejenak, Lentera menyandarkan punggungnya di balik pintu, matanya terpejam.

Jika memang Zwart adalah saudaranya, maka Lentera akan berada dalam posisi yang berbahaya. Benar, sangat berbahaya.

Bayangkan saja, sepuluh saudaranya dengan keunikan masing-masing dan kelebihan yang menjulang. Lantas, Lentera bagaimana? Ia hanya goresan kecil pada sebuah berlian. Ia akan mengacaukan kesempurnaan semua saudaranya.

"Gara-gara ayah!" Lentera mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat. "Gimana sih, cara kerja otak dia?!" ucapnya lalu membanting dirinya ke atas kasur dan meronta-ronta di sana seraya melempar beberapa bantal dan guling menyalurkan kekesalannya.

...

Yang udah numpang ke salah satu kapal, harap turun lagi ya wkwkwk.

Yang udah numpang ke salah satu kapal, harap turun lagi ya wkwkwk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ZWARTWhere stories live. Discover now