24 ▪️ Laut Merenggut

42.7K 5.8K 74
                                    

' Ketakutan suatu saat akan hilang, bagaimana dengan trauma? '

✒.Happy reading!

Hari ini, sudah waktunya Zwart mengemas barang mereka masing-masing untuk menuju ke Singapura besok pagi. Kegiatan di sekolah tadi rasanya sama saja, tidak ada yang perlu diperhatikan selain dengan adik bungsu mereka yang murung karena kekasihnya--atau mungkin calon mantan kekasihnya tak terlihat sama sekali di manapun.

Di penglihatan lelaki tinggi, pemalas, namun selalu terlihat rapi itu aktivitas adik-adiknya tengah ia amati ditemani kantuk menyerang. Sementara ia sendiri masih merebahkan diri di kursi dengan satu kaleng keripik dalam pelukan. Micro belum menyiapkan apapun, tentu saja alasan pertamanya adalah malas. Alasan kedua, rumah yang ditempati Zwart ini akan sedikit ricuh oleh Alkana, Aeste, dan Archeology yang mencari barang mereka. Jadi Micro memutuskan untuk menunggu tiga orang itu selesai, lalu nanti ia mulai mengemas barang sendiri agar tenang.

Rumah berlantai dua ini peninggalan dari ibu kandung Coulo yang sudah tiada, biasa mereka gunakan untuk tinggal bersama jika tidak mau pulang ke rumah masing-masing. Lagi pula, ini adalah rumah mereka yang sebenarnya. Tidak ada yang bisa mereka sebut rumah selain di sini. 

Masih diam dengan mulut mengunyah, Micro melirik Sastra yang sudah duduk di single sofa di hadapannya, satu tangannya memegang satu kaleng soda sementara di pangkuannya terdapat laptop. Dua hari lalu Sastra mengatakan jika penerbit sudah menagih naskahnya yang setengah jadi, sekarang sepertinya Sastra tengah menggeluti dunianya. Terlihat dari caranya melamun dan fokus pada ketikannya. 

Melihat dari bawah hingga atas, Micro baru sadar satu hal pada adik keduanya ini. Micro berdeham, membuat Sastra meliriknya sebentar. "Gak papa nih, kita naik pesawat?"

Sastra mengerutkan kening untuk beberapa saat sebelum akhirnya kekehan terdengar. "Terus, kita mau naik motor ke Singapura?"

"Lo tahu otak lo itu punya banyak sel yang berfungsi. Jaringan saraf lo juga gue yakin lebih banyak dari kabel di Indonesia. Tapi kenapa lo gak manfaatin semuanya buat lo gunain, sih? Jelaslah kita ke sana naik pesawat. Lo mau naik apa? Kuda?"

Dengkusan terdengar jelas saat suara Alkuna ikut campur dalam perbincangan. Untungnya Micro selalu sabar menghadapi mantan adik bungsu itu. Ia menghela napas sejenak sebelum kembali fokus pada Sastra, dan tak menghiraukan Alkuna yang duduk di sampingnya serta seenak jidatnya merebut keripik di pelukannya. "Sastra, gue nanya serius. Ini pesawat, kalau nggak siap, lo bilang aja. Jangan maksain, gue mikirin lo, Zilos juga sama, kami takut lo--"

"Gue nggak trauma, gue cuman takut sedikit." Sastra memotong, menatap Micro dengan tatapan serius. "Kejadiannya udah lama, gue udah nggak inget jelasnya gimana. Lagian tahun, bulan, tanggalnya juga beda. Gue saat ini adalah gue yang sekarang, bukan yang dulu. Semuanya juga nggak sama kayak waktu itu."

Micro terdiam dan tidak menanggapi lagi selain menyalakan televisi. Sementara Alkuna, ia menghentikan kunyahan di mulutnya dan menatap Sastra dengan sorot tajamnya membuat Sastra tak nyaman.

"Gak sopan lo lihat yang lebih tua kayak gitu. Lo tahu nggak sopan santun itu apa? Menurut KBBI--"

Alkuna mendengkus keras. "Kayak yang lo bilang, trauma dan takut. Itu dua hal yang beda. Lo juga tahu, jujur dan bohong adalah dua hal yang berkebalikan. Dan saat ini, gue tahu lo bohong," ucapnya dan beranjak meninggalkan suasana yang lengang selain suara televisi yang terdengar.

ZWARTNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ