17 ▪️ Keputusan Awal

41.7K 6K 74
                                    

' Antara ya, dan tidak. Akan selalu memiliki alasan bagi orang yang memilihnya '

✒.Happy reading!

"Emangnya bapak tahu ini ukurannya sama? Takarannya berapa? Perbandingannya berapa? Siapa tahu gak seimbang dan menyebabkan beberapa keiri-dengkian yang tidak pernah diduga. Nanti terjadi perang antar saudara seperti Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala." Archeology bersungut-sungut, memelototi cup es krim yang diberikan penjual padanya.

"Ar, kalem aja kali. Gak ada hubungannya es krim sama sejarah, lupain." Micro menganggukkan kepala dengan sopan pada penjual es krim di taman itu, sejujurnya agak tidak enak dengan pria paruh baya yang berjualan di cuaca panas ini. Mulut Archeology memang perlu ia jahit dulu, seharusnya.

"HEH, JASMERAH!" Archeology semakin melotot pada Micro, bukannya mengalah. Jika saja tidak ada Aeste di samping Micro, sudah dipastikan tangan Archeology melayang memukul kepala Micro.

"Jas merah?" Aeste mengernyit. Tampaknya ini berhubungan dengan sejarah, tapi mendadak ia lupa.

"Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah! Itu semboyan pak Soekarno, di pidato yang terakhir waktu Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966," jelas Archeology, amarahnya agak sedikit mereda begitu membahas pelajaran yang ia kuasai.

"Si paling masa lalu." North terkekeh.

"Sejarah, ya! Bukan masa lalu!"

"Sama aja?"

"Heh, diem gak lo? Atau gue pites-pites dari ujung rambut sampe jari kaki?!"

Melihat keributan itu, Micro hanya menggeleng-geleng, ia menyerahkan beberapa lembar uang pada penjual es krim lalu berjalan menuju tempat di mana Zilos dan teman-temannya yang lain berkumpul. Tentu saja, Archeology, Aeste, dan North mengikuti dengan masing-masing cup es krim di tangan.

"Nih, es krim lo."

Lentera menoleh, lalu menerima es krim yang diberikan oleh Micro padanya. Semua tampak memegang es krim masing-masing satu, lantas duduk secara acak di bawah pohon rindang di taman kota. Setelah bersitegang di perpustakaan tadi, Zwart memilih taman untuk tempat bersantai dan menenangkan diri mereka masing-masing, tentu saja Lentera termasuk. Sebenarnya Lentera ingin pulang saja dan merebahkan diri, tetapi mendapat tawaran akan dibelikan es krim, mana bisa ia menolak.

"Soal pembahasan lomba tadi, apa gue bisa bahas?" suara Alkuna yang terdengar sedikit berat itu mengudara, membuat yang di sana meliriknya.

"Boleh." Zilos menjawab, sedikit menarik keadaan tegang kembali.

"Pelaksanaan lomba kita semua itu gak ada jarak, beberapa di antaranya harinya sama. Kali ini gue gak akan ikut lomba, apa boleh?" Alkuna melepaskan kacamatanya untuk ia lap dengan kain khusus di saku almamaternya, bergerak santai tak memedulikan tatapan yang satu persatu merobeknya.

"Jadi lo ngundurin diri, padahal lo satu tim sama dua kembaran lo, Kuna?" Micro yang bertanya, spontan.

Alkuna melirik Alkana, yang langsung ditanggapi dengan dehaman. Alkana menggaruk pipinya yang mendadak gatal. "Kami emang gak akan ikut lomba buat kali ini. Kami mau ikut ke Singapura sama Zilos."

Kepala Sastra mengangguk menjadi perhatian, raut wajah lelaki itu tampak tak keberatan. "Keputusan gue juga sama. Mungkin, gue juga ikut."

Keheningan sempat terjadi selama beberapa saat, sampai akhirnya tangan Coulo terangkat, meminta perhatian. "Gue ikut lo, Zilos. Jangan nemuin dia sendirian."

"Kami." Aeste meralat. "Kami gak akan biarin lo nemuin dia sendiri."

Mendengarnya, Zilos tak langsung menanggapi selain menatap serius satu persatu anggota Zwart. Suaranya belum keluar sama sekali karena ini adalah pertama kali Zwart tak akan berpartisipasi dalam beberapa lomba sekaligus. Akan ada dampak yang timbul, dan itu tak sedikit. Setelah ini ia harus memiliki alasan kuat agar pihak sekolah mengizinkan.

Deheman singkat dari Zilos menjadi jawaban, membuat helaan napas lega terdengar kompak.

"Berarti fiks, sekarang cuman Zilos yang ikut lomba?" bola mata North mengedar, menatap teman-temannya satu persatu dan dibalas anggukan, kecuali Lentera yang tak tahu apa-apa dan tak mau ikut campur.

"Hm." Zilos menatap Lentera bertepatan saat gadis itu juga menatapnya. "Lo juga ikut."

Seketika cup es krim yang dipegang Lentera terjatuh begitu saja, beruntung isinya sudah habis. "Kenapa gue harus ikut?!" 

🦇

"Wah, terima kasih ya sudah mau direpotin anak bunda. Padahal ditinggalin di jalanan juga nggak papa."

Lentera mendelik, sekarang ia jadi bertanya-tanya apakah benar Hera adalah bundanya? Begitu memberikan helm pada North, Lentera langsung menghampiri bundanya yang masih terpesona menatap kesepuluh lelaki di depan gerbang.

"Kami yang harusnya minta maaf sama tante, Lentera jadi pulang malam. Tadi kami ada tugas." North tersenyum, bekas sayatan yang memanjang dari alis hingga bawah matanya menjadi objek yang selalu Hera perhatikan. Apalagi North membuka helmnya, kian terlihat jelas.

"Gak papa, Tante juga pernah muda kok. Eh ini udah malam, ayo makan malam dulu di sini, sekalian nginep juga gak papa." Hera mendorong Lentera di sampingnya, membuka pagar lebih lebar agar para lelaki di sana bisa memasukkan dengan mudah kendaraan yang dipakai. Jelas, itu semua membuat decakan Lentera terdengar keras.

"Nda anggap aku apa, sih? Anak sendiri ditelantarin," ucapnya dengan bibir melengkung ke bawah.

"Hilih, buat apa melihara beruang yang hobinya hibernasi kalau udah punya sepuluh berlian?"

Lentera menganga, sekarang ia benar-benar ragu jikalau Hera adalah bundanya.

"Turut berbahagia sungkawa." Aeste terkekeh saat melihat raut wajah Lentera yang tertekan. "Lo ternyata beneran beruang."

"Berbela sungkawa yang bener." Seperti biasa, Sastra menyempatkan diri untuk mengoreksi.

Lentera tidak membalas apapun lagi, hanya menatap Zwart penuh permusuhan yang kentara. Sementara Hera berdeham melihat satu persatu lelaki di atas motor itu. "Jadi kalian gak mampir dulu, nih? Tapi emang ini udah malam, sih. Pasti orang tua kalian—"

Entah ada ucapan Hera yang salah atau apa, keadaan jadi berubah saat Micro terbatuk keras memotong ucapan Hera. Wajahnya memerah namun tak ditanggapi yang lain. Mereka seolah-olah santai dengan itu, menyisakan Hera yang kelabakan sendiri.

Dibalik itu semua, Lentera tak sengaja mengamati. Ada beberapa lelaki yang mengalihkan pandang dan ada beberapa juga yang menatap Micro dengan ekspresi tak terbaca. Kali ini Lentera amat mengerti jika Micro terbatuk adalah hal yang disengaja, entah apa alasannya. Lelaki itu seperti menghalangi ucapan Hera dilanjutkan. Ada kejanggalan yang Lentera temukan namun terabaikan hingga akhirnya mereka pamit pulang.

Di satu sisi, Hera juga menyadari kesengajaan yang Micro lakukan, membuatnya berpikir dalam diam.

...

Ayo tebak-tebakan dulu, kira-kira ada apa ya?

Ayo tebak-tebakan dulu, kira-kira ada apa ya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ZWARTWhere stories live. Discover now