27 ▪️ Jiwaku, Bintang

37.9K 5.5K 74
                                    

' Sehebatnya bayangan bersembunyi, cahaya akan menunjukkannya '

✒. Happy reading!

"Bintangnya nggak kelihatan." Lentera mengeluh di balkon villa lantai dua, memandang langit malam yang cukup terang tak menampilkan beberapa titik cahaya yang berkedip. Sia-sia Lentera meninggalkan televisi dan memilih pergi kemari, padahal niatnya ingin menenangkan diri dengan melihat para bintang atau bulan.

Ia juga berniat mengistirahatkan diri, setelah tadi siang berkelahi dengan tebakannya sendiri atas akibat yang akan datang karena kelakuan Zwart tadi. Apakah ayah mereka akan datang, atau justru pergi lagi?

"Polusi cahaya." Coulo datang dengan selimut di tangannya, menjulurkan selimut itu pada Lentera agar menghalau angin malam. "Ini dampak buruk cahaya buatan manusia yang berlebian. Di perkotaan, ini hal wajar."

Lentera menghela napas, menyelimuti bagian tubuh atasnya kemudian duduk di lantai mengikuti Coulo. Tak lama dari sana, saudaranya yang lain muncul, dengan Micro dan Alkana yang membawakan cokelat hangat untuk semuanya.

Menerima gelas yang dijulurkan Alkana, Lentera tersenyum, menyeruput cokelat hangatnya dengan pelan. "Sia-sia, dong. Gak ada pemandangan menarik di sini."

"Gak ada pemandangan menarik, ganti aja sama fakta menarik." Archeology mengusulkan, ia duduk di dekat pagar pembatas, menjuntaikan kakinya ke bawah. "Tentang bintang, 'kan? Nah, lo harus tahu, sinar bintang yang kita lihat itu sebenarnya cahaya bintang dari masa lalu. Itu karena, jarak bintang ke Bumi jauh banget, butuh beberapa tahun cahaya agar sinar bintang sampai ke sini. Artinya, butuh beberapa ratus tahun sinar itu kita lihat di sini."

"Oh, ya?" Lentera mengangkat alis dengan bola mata berbinar, baru mendengar mengenai hal ini. "Ada lagi?"

"Warnanya bervariasi." Aeste yang menjawab. "Nggak selalu kuning kayak ilustrasi yang kita buat. Bintang itu ada warna putih kebiruan, jingga, dan merah. Terus nih, bintang paling panas itu bukan bintang warna merah, tapi yang warnanya biru."

North mengangguk-ngangguk. "Dulu, bintang itu digunakan buat petunjuk arah juga."

"Oh, iya! Bintang itu ada yang punya pasangan, ada juga yang jomlo." Alkana terkekeh mengingat fakta itu, saat kepala Lentera menoleh padanya, Alkana tersenyum lebar. "Bintang yang berpasangan itu disebut Binary Stars, biasanya kelihatan kayak satu bintang aja, padahal ada dua. Romantis, 'kan?"

"Kalau yang jomlo itu gimana?" tanya Lentera.

Alkena berdeham, gilirannya menjawab. "Ya, itu bintangnya sendirian, karena jarak bintang yang paling dekat ke dia itu jauhnya jutaan cahaya."

"Ada juga yang pasangannya tiga atau empat," tambah Alkuna. "Namanya Multiple Stars."

Lentera mengangguk-ngangguk mengerti, tidak bisa melihat bintang, tapi ia bisa mengetahui fakta bintang sejauh ini, sangat menyenangkan membuat mood-nya kembali apalagi setelah kejadian siang tadi.

Senyuman Lentera jadi muncul. "Kalau nama gue bintang, pasti bagus, 'kan?"

"Lentera Matahari, itu ada unsur bintangnya." Coulo menoleh untuk menatap Lentera. "Matahari juga bagian dari bintang karena dia punya sifat bintang, yaitu ngeluarin cahayanya sendiri."

Micro berdeham, jari jempolnya terangkat pada Coulo. "Yang bukan itu, bulan. Soalnya Bulan gak ngeluarin cahaya sendiri, tapi karena permukaannya mantulin sinar matahari, begitu."

"Ah, gitu. Jadi nama gue bagus, dong?" kekeh Lentera, tatapannya tertuju ke depan, pada langit malam yang terhampar luas tanpa awan. "Kadang gue insecure aja, sifat gue gak seterang atau sebagus nama gue."

"Gak masalah lo gak seterang nama lo." Zilos yang menyahut pertama kali, ia menyeruput cokelat hangatnya sebentar, kemudian kembali bersuara. "Soalnya bintang juga gak selamanya terang. Makin besar ukuran bintang, kandungan hidrogennya cepat habis, setelah itu bintang bakalan meledak dan mati. Gak perlu insecure, nama itu kebanggaan lo. Lebih baik lo perbaiki diri, biar lo seterang nama itu."

"Perbaiki?" ulang Lentera.

"Kembangin kemampuan dan tinggalin hal yang gak perlu, contohnya pacar gak guna lo." Bukan Zilos yang menjawab, melainkan Alkuna yang sudah menatap Lentera tajam.

Lentera tercekat, ia bertatapan dengan Alkuna beberapa menit lamanya membuat keadaan hening, tak ada yang bersuara, dan Lentera pun tak bisa menjawab apa yang menjadi sayatan tajam untuknya.

Hingga akhirnya, Sastra bangkit, berdiri di paling depan menghadap semua saudaranya. "Ngomongin soal bintang tadi, gue jadi ada inspirasi. Mau denger puisi gue?"

"MAU!" Alkana menyahut keras, tahu maksud Sastra yang mengalihkan perhatian dan mengubah suasana.

Sastra berdeham, mempersiapkan diri. Senyumannya keluar, tatapan matanya melembut, hingga ia menghadap ke samping kanan dengan kedua tangan yang berada di saku celana. Ia menengadah menatap langit malam.

"Jiwaku nyatanya bintang, bersinar tanpa candala. Rumit membentuk gemintang, tersebar dalam nabastala. Namun jiwaku pun gamang, tak menentu dan terombang kendala. Kemudian jiwaku menemukan penerang, bersamanya menjadi nirwala."

Menarik napasnya, kemudian mengembuskannya dengan pelan, Sastra berbalik sembilan puluh derajat, kembali menatap saudaranya yang terdiam. Sampailah ketika Sastra membungkuk menunjukkan gestur penghormatan, tepuk tangan langsung menyebar, menuai pujian juga lengkingan.

Alkana yang berteriak paling nyaring itu mengusap air matanya yang tertahan. "Sas, lo boleh bikin puisi. Gak gue larang, tapi jangan bikin gue mewek, dong!"

"Gue gak papa, gue kuat." Aeste memukul-mukul dadanya sendiri dengan bangga, padahal air matanya sudah berlinang dan matanya memerah. Sukses menjadikannya bahan tawa.

Lentera sendiri juga menangis, mendengar penghayatan serta merasakan dalamnya perasaan Sastra, ia ikut tenggelam dalam untaian kata. Ia mengacungkan kedua jempolnya pada Sastra, yang tersenyum lebar menatapnya.

 Ia mengacungkan kedua jempolnya pada Sastra, yang tersenyum lebar menatapnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ZWARTWhere stories live. Discover now