1. Introduction

1.6K 29 2
                                    

Hai, nama gue Anindita Keisha Zahra. Panggil aja Dita atau sesuka kalian deh. Nama gue memang sering diganti-ganti, apalagi sama si Nabil. By the way, kalian jangan tanya-tanya tentang Nabil ya. Tapi kalo tiba-tiba gue cerita, kalian harus dengerin.

***

"Bespren, lo kok ninggalin gue?" dengan rambut yang basah kuyup, cowok itu berlari kearah gue sambil mengatur napas.

Jangan heran kalau dia suka mengindonesiakan Bahasa Inggris didepan gue, itu sebetulnya menyindir. Karena menurut dia, Bahasa Inggris gue lebih bagus dari dia.

"Yailah, baru jalan dua meter aja berasa udah ditinggal ke ujung bumi." kata gue.

Nabil hanya menyeringai sambil merangkul bahu gue. "Gue kan mau berbagi keringet."

Cowok itu menenggelamkan wajah gue di ketiaknya. Sudah lebih dari empat tahun gue terdoktrin untuk bisa biasa saja dengan bau keringatnya. Dia tidak pernah bau ketek, tapi awal-awal gue mencium keringatnya... Baunya naudzubillah.

Kekuatannya selalu tiga kali lebih kuat dari gue, jadi gue hanya membeku dan menunggunya melepaskan satu-satunya kepala gue. Percayalah, pertama kali melakukannya gue merasa hampir mati.

"Lo mau mampir ke Rumah gue nggak?" Tanya Nabil setelah melepaskan rangkulan naudzubillahnya.

Gue yang baru bisa bernapas menjawab. "Tapi janji harus langsung Mandi."

"Oke."

Kami berjalan sekitar satu kilometer dari Taman. Saking luasnya, kalian bisa menemukan semua yang kalian mau di komplek perumahan kami. Dari mulai kafetaria sampai kuburan.

Sayangnya tak ada toko yang mau menukarkan Nabil dengan orang yang lebih baik. Tapi percayalah, di Sekolah dia sama sekali tidak seperti yang sekarang. Cowok memang selalu jaim kan?

Kami langsung disapa oleh Yangti-- neneknya Nabil, sesampainya di Rumah. Gue selalu menyempatkan diri ke Rumah Nabil untuk mencoba setiap masakan yang dibuatnya. Satu hal yang membuat gue bahagia karena nggak pernah gemuk adalah, gue tukang makan.

Sejak pertama kali pindah, Yangti sudah satu Rumah dengan keluarga Nabil. Dan itu membuat rumahnya tidak pernah terasa sepi. Belum lagi ada Ody dan Kayla, yang tidak pernah bisa diam.

"Uti lagi buat Churros. Kamu jangan pulang sebelum coba ya, ini buatan Uti yang pertama." Wanita paruh baya itu, tersenyum dan kembali ke dapurnya yang selalu rapih walaupun sedang memasak.

Gue nggak suka memasak, setidaknya gue nggak nguras banyak tenaga buat belajar masak. Tapi menurut Yangti, gue punya bakat, karena selalu tahu apa yang kurang dari masakannya.

Jadi, walaupun nggak bisa memasak, gue selalu menjadi orang pertama yang mencoba masakannya. Setidaknya nggak sia-sia punya tetangga kayak Nabil yang bau. Dan nggak sia-sia juga karena dia punya dua adik perempuan yang selalu bikin gue iri.

"Tadi Kak Nabil beliin aku bakpao nggak Kak?" tanya Kayla si bontot.

"Nggak tau deh, coba aja tanya Kak Nabil." gue menyapu pengelihatan ke seluruh ruangan. Nah kan, baru beberapa detik aja tuh anak udah ngilang. "Yaudah, nanti aku beliin. Kenapa Kayla nggak beli sama Kak Ody?"

"Nggak boleh sama Kak Nabil, katanya aku sama Kak Ody kan masih kecil, nanti bisa diculik, kalo diculik kan Kak Nabil yang repot." terang Kayla dengan lugunya.

Nabil memang paling bisa mencuci otak kedua adiknya, bahkan Ody yang sudah duduk di kelas tujuh. Padahal, rumah gue ada diantara Rumah Nabil dan toko roti yang menjual bakpao.

Kadang gue merasa perlu mengadopsi adiknya, walaupun Ody agak menyebalkan dengan sifat bodo amatnya. Tapi dia peduli sama gue, dan terkadang menjadikan gue ladang curhatan. Karena sifat masa bodonya itu, dia jadi tidak bisa mencurahkan hati ke sembarang orang. Bahkan kepada Kakaknya sendiri.

The AuthorWhere stories live. Discover now