23. Back

293 18 2
                                    

"Good luck ya buat hari ini." Evan tersenyum seraya mengangkat kedua alisnya ke gue.

"Yaelah, kayak gue pengin disunat aja." gue meninju pundaknya, lalu bergegas turun supaya tidak mendengar hal-hal aneh lainnya yang keluar dari mulut Cowok itu.

Pelajaran hari ini berlangsung dengan khidmat, setelah menyelesaikan beberapa jahitan di pelajaran seni, gue mengumpulkannya. Hasil gue masih lumayan dibandingkan anak-anak Cowok. Malah punya mereka nggak bisa dibilang sebagai sebuah kotak tisu ketika jadi.

Cia berceloteh tantang berapa menyedihkannya kotak tisu gue. Setidaknya gue telah berusaha dan mengumpulkannya. Walaupun sedikit merasa iri karena milik Cia terlihat nyata, seperti yang dicontohkan guru kami.

"Lo minta tolong sama Bibi ya Ci?" tanya gue pada akhirnya, karena curiga.

Dia mendesah. "Ya enggaklah, Bibi cuma ngajarin doang. Tapi gue ngerjain semuanya sendiri."

Gue hanya bisa menunjukkan ekspresi mupeng ketika mendengar itu. Setidaknya, dia masih punya seseorang yang mengajarinya. Nah gue? Evan suruh ngajarin jahit, yang ada ujung-ujungnya gue yang jahit tangan dia karena luka.

Waktu berjalan begitu cepat. Untunglah dengan begitu, cepat juga gue bertemu dengan Nabil dan pulang.

Gue menggenggam surat itu, lebih tempatnya meremas saking gugupnya. Ngapain juga gugup didepan Nabil? Kayak mau tunangan aja sama dia.

Tempat rahasia itu sebenernya adalah atap Sekolah. Tidak ada seorang muridpun yang bisa kesana kecuali yang mempunyai kunci. Dan Nabil memilikinya karena dia mantan Wakil OSIS yang jahat. Kunci miliknya itu sebenernya duplikat dari kunci aslinya.

Tapi gue nggak boleh bilang dia jahat, karena menduplikat kunci itu adalah ide gue pada awalnya.

Kami sering cabut ke Atap setiap kali gabut di Kelas. Atau kalau gue benar-benar pusing pada saat pelajaran hitung-menghitung.

Keringat mengucur deras dibagian belakang kemeja gue ketika menaiki tangga. Lalu membuka gerbang kecil yang tidak terkunci setelah anak tangga terakhir.

Gue menyapu seluruh pengelihatan, tetapi tidak ada sesosok Manusia yang terlihat. Maka gue berpikir bahwa Nabil ngerjain gue, dan kalau itu benar terjadi... Nggak lucu. Gue lagi nggak pengin bercanda sekarang.

Mungkin dia hanya ingin mengagetkan gue saja, jadi gue berjalan ke ujung Atap. Disisi yang biasa kami duduki, gue berdiri, bersiap untuk tidak kaget saat dia muncul.

Setelah beberapa detik berdiri disana, sesosok Nabil muncul dari pintu sekat. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mengagetkan gue, dan hal itu membuat gue segera mengalihkan pandangan kejalanan dibawah sana.

"Gue kira lo nggak bakal dateng." ucap Nabil seraya memainkan kunci ditangannya.

"Ya, gue masih punya hati buat nggak mengabaikan surat lo." tukas gue, sambil merubah pandangan menjadi tatapan kosong ke pintu sekat.

Nabil duduk disamping gue, membuat jarak tiga jengkal yang sekarang buat gue, jarak itu terlalu dekat untuk kami. "Nyokap lo udah nebus uang ya, jadi lo dibalikin ke Rumah."

Gue tertawa garing. "Enggaklah, mana mau dia ngelakuin itu."

"Gue kira lo diculik." tukasnya. Kini gurauan itu terdengar asing di telinga gue.

"Lonya aja yang nggak pernah ketemu gue." dan setidaknya berusaha buat menemui gue.

"Iya ya. Udah berapa lama kita nggak ketemu? Seminggu? Sebulan? Gue nggak ngitung. Serem kalau diitungin."

The AuthorDonde viven las historias. Descúbrelo ahora